Jumat, 09 November 2012

Mobilitas Sosial Santri dan Intelek

 I. Pendahuluan
Menurut Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah dari strata yang satu ke strata yang lainnya. Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan kelompoknya.

Dalam dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila tingkat mobilit`s sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.
Mobilitas sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan. Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain yang lebih tinggi.
Santri dalam komunitas pesantren merupakan bagian dari masyarakat sunni yang dapat didefinisikan sebagai mayoritas umat islam yang menerima otoritas sunnah Nabi dan otoritas seluruh seluruh generasi pertama umat islam, serta validnya kesejarahan komunitas dan mayoritas muslim. Dalam menjaga persatuan, santri mengutamakan kepentingan jamaah alam setiap pengambilan keputusan.
Sedangkan intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah, tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”, ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat pada satu kelas saja], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis di dalam kerangka masyarakat .
Dalam pembahasan kali ini kami akan berusaha melihat bagimana mobilitas kaum santri dan intelektual dalam menjaga eksistensi dalam dunia global.
II. Rumusan Masalah
  1. Bagaimana strategi pendidikan dalam upaya tercapainya mobilitas sosial santri dan intelektual?
  2. Bagaiana terjadinya mobilitas sosial kaum santri dan intelektual?
  3. Bagaimana bentuk mobilitas kaum santri dan intelektual?
III. Pembahasan
  1. Strategi pendidikan dalam upaya mobilitas sosial santri dan intelektual
Strategi pembaharuan pendidikan merupakan perspektif baru dalam dunia pendidikan yang mulai dirintis sebagai alternatif untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan yang belum diatasi secara tuntas. Jadi pembaharuanm pendidikan dilakukan untuk memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan dan menyongsong arah perkembangan dunia pendidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan ke depan.
Dalam proses perubahan pendidikan paling tidak memiliki dua peran yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan masyarakat, dan 2) Pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap proses trnasformasi menuju terwujudny` masyakat madani. Proses perubahan sistem pendidikan harus dilakukan secara terencana dengan langkah-langkah yang strategis, yaitu “mengidentifikasi berbagai problem yang menghambat terlaksanya pendidikan dan merumuskan langkah-langkah pembaharuan yang lebih bersifat strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan dilapangan” langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara terencana, sistemnatis, dan menyentuh semua aspek, mengantisipasi perubahan yang terjadi, mampu merekayasa terbentuknya sumber daya manusia yang cerdas (dalam hal ini adalah bagaimana pendidikan memberikan kemampuan santri untuk mampu keluar dari romantisme masalalu yang mengukung pemikiran pembaharuan tanpa melanggat etika almuhafadhotul ‘ala qodimi as-sholeh-menjadi santri berkemampuan intelektual tinggi), yang memiliki kemampuan inovatif dan mampu meningkatkan kualitas manusia. Oleh karen itu, pendidikan betul-betul akan berpengaruh terhadap perubahan kehidupan masyarakat dan dapat memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi ilmu pengetahuan dan pelatihan dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan manuisa.
Bermain logika dengan teka-teki cerdas dan jenaka ini tumbuh dalam keguyuban dunia pesantren. Tradisi itu berkembang karena struktur ritme kehidupan dunia santri ini bersifat self-sustain. Sifat ini bukan saja ditandai oleh kurang bergantungnya komunitas santri dalam ekonomi, budaya, dan intelektual pada aktor-aktor eksternal. Melainkan juga oleh berkembangnya mental qanaah (menerima apa adanya yang diberikan Tuhan) di kalangan mereka. Dalam ritme kehidupan yang berjalan secara teratur, tanpa tergesa-gesa, inilah gagasan-gagasan teka-teki cerdas muncul bukan saja untuk mengasah otak, juga untuk memberi makna terhadap kehidupan itu sendiri.
Secara sosiologis, kehidupan mandiri inilah yang memperkuat kohesivitas internal komunitas santri. Mental qanaah yang dianut membuat setiap anggota komunitas cenderung menggelar sikap ikhlas, karena itu menolak ambisi pribadi. Kombinasi keduanya ini membuat resiliensi (daya tahan) mereka terhadap tekanan eksternal menjadi paripurna. Dengan keikhlasan dan tanpa ambisi personal, mereka mempercayakan kepemimpinan kepada seseorang untuk menghadapi dunia luar.
  1. Proses Mobilitas Sosial Kaum Santri Dan Kaum Intelektual
Mobilitas sosial adalah sebuah menggerakkan masyarakat dalam kegiatan dan mengalamai perubahan yang lebih baik. Mobilitas sosial ada yang terjadi secara vertikal dan ada yang horisontas. Mobilitas secara vertikal terjadi apabila seorang mengalamai kemajuan dan peningkatan dalam taraf sosialnya. Contohnya: seorang buruh pabrik yang giat bekerja, karena ia dipandang ulet dan rajin oleh atasannya lalu diangkat menjadi kepala bagian. Sedangkan mobilitas sosial horisontal adalah apabila perubahan yang terjadi secara linier. Contohnya: seorang petani yang berubah pekerjaanya menjadi buruh pabrik, dalam hemat penulis mobilitas ini lah yang terjadi dalam kaum santri dan intlektual, dimana kaum santri menjadi intelektual dan kaum intelektual masuk menjadi kaum santri. Dalam melakukan mobilitas sosial ada beberapa faktor yang menjadi penghambat dianataranya: kesenjangan ekonomi, kebodohan, perbedaan kasta, kemalasan. Faktor yang paling menghambat dalam mobilitas sosial adalah kebodohan atau kurangnya pendidikan. Seperti faktor penghambat, faktor yang mempengaruhi mobilitas sosial pun cukup banyak. Diantaranya: keinginan untuk berubah, bosan dengan keadaan yang sudah ada, dan pendidikan.
Disinilah pendidikan memainkan peranannya untuk membentuk intelektual manusia, sehingga kemampuan intelektual ini menjadi lokomotif mobilitas sosial, ekonomis. Sebab, dalam kehidupan nyata, kekuatan intelektual ini tentu saja tidak dapat dipisahkan dari kekuatan sosial. Akibat dari faktor keterpelajaran, keterdidikan atau intelektualitas ini, citra pendidikan dalam masyarakat kita selalu berada pada lingkaran persoalan konseptual berupa: (1) perbenturan modern dan tradisional, (2) masalah Barat dan Timur, (3) ketegangan antara kaya dan miskin, dan (4) ketegangan dan upaya memperoleh ruang publik dan otonomi.
Gambaran teori Marxis nampaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk melakukan perubahan. Meskipun teori ini lahir dari dunia barat. Namun, pola perubahan yang dilakukan cukup baik. Teori Marxisme mengajarkan kita untuk mampu melakukan perubahan agar terbentuknya masyarakat yang tanpa kelas. Dalam artian semuanya sama dalam kelas masyarakat. Tidak ada lagi kelas borjuis dan kelas proletar. Kesenjangan ekonomi yang ada dijadikan sebagai alat untuk malakukan mobilitas sosial. Masyarakat diajak untuk melakukan perubahan agar dapat sejajar dengan golongan kelas lain. Dan kelas yang borjuis dipaksa untuk mau berbagi dengan kelas proletar. Contoh mobilitas sosial yang paling sukses di dunia ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, dimana Rasul mampu untuk mengubah tatanan masyarakat yang jahiliah menjadi masyarakat yang sangat beradab. Dan jalan yang ditempuh untuk merubah tatanan masyarakat pada waktu itu adalah melalui pendidikan.
Dikotomi sosial antara priayi dan wong cilik sudah lama mengabur.
Program pendidikan umum (pemerintah dan swasta) menjadi sebab
mobilitas sosial. Juga munculnya sektor usaha menyebabkan mobilitas
sosial. Namun, secara resmi dikotomi sosial dihapus pada 1945 ketika,
baik priayi maupun wong cilik, menjadi pegawai negeri. Soekarno yang
berasal dari golongan priayi menjadi presiden. Mobilitas sosial itu
mencapai puncaknya pada 1966 saat Soeharto yang berasal dari wong
cilik menjadi presiden. Karier kemiliteran ternyata menjadi sarana
yang baik untuk mobilitas sosial itu. Pada zaman Belanda ada KNIL,
zaman Jepang Peta, Heiho, dan Hizbullah, RI punya TNI/Polri.
Pembagian kerja masyarakat juga terjadi sehingga dikotomi sosial itu
mengabur dan menghilang. Pekerjaan-pekerjaan baru juga muncul: dosen,
profesional (advokat, notaris, anggota legislatif), dan eksekutif
perusahaan.
Dikotomi budaya abangan dan santri yang mempunyai latar belakang panjang itu juga mengabur secara pelan-pelan. Semula abangan dan santri memang sangat berpengaruh pada dunia politik. Ada Si Merah dan Si Putih, ada PKI, PNI, dan Masyumi/NU. Dalam kepercayaan-kepercayaan nativistik (Agama Jawa, Saminisme, Sarekat Abangan), agama kaum santri ditolak. Namun, dikotomi budaya mulai mengabur berkat adanya mobilitas budaya: haji, buku-buku, dan pergaulan.
Pendidikan agama di sekolah-sekolah mempunyai andil yang sangat
besar. Anak-anak kaum santri malahan sangat tergantung pada sekolah
dan perguruan tinggi agama negeri. Pendidikan agama dari semua
jenjang (madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) negeri maupun
swasta tersedia, baik bagi abangan maupun santri. Tidak ada lagi
dikotomi budaya abangan dan santri. Dari dikotomi budaya abangan dan
santri inilah lahir dikotomi budaya yang baru, yaitu sekuler dan
religius. Oleh karena itu, Pilpres 2004 yang menggabungkan sekuler
dan religius hanyalah konsekuensi logis dari proses yang lama.
Hasilnya adalah pragmatisme religius. Dengan pergeseran ini telah membawa kaum santri masuk dalam struruktur sosial politik, perhatikan saja pada setiap partai selalu mengusung nama santri sebagai ikon partainya, hal secar pasti menuntut kemampuan santri mempunyai intelektual yang tinggi dalam melaksanakan dan mempertahankan moblitas sosial ini.
Proses mobilitas ini juga dilalui oleh para kaum itelektual sebagai komunitas Akan tetapi, di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam proses yang berjalan lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap sosialisme, yang sudah kita jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang semakin membesar dengan tumbuhnya gerakan sosialis, dapat dan harus berubah secara pasti sebagai akibat dari perubahan politik secara objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan sosial secara radikal. Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang benar: bahwa kaum intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak secara langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi tergantung pada kelas kapitalis. Kaum intelektual bisa menyeberang ke kolektivisme bila mereka dapat melihat kemungkinan kemenangan kolektivisme yang segera, bila kolektivisme muncul di hadapan mereka bukan sebagai sebuah idealisme dari kelas yang berbeda, jauh, dan asing tetapi sebagai sesuatu yang dekat dan nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak penting – perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap pekerja-otak dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan. Knndisi-kondisi seperti itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual Eropa melalui kekuasaan politik sebuah kelas sosial yang baru; dan sedikit banyak melalui sebuah periode perjuangan langusng dan segera untuk kekuasaan tersebut. Apapun yang menjadi sebab keterasingan kaum intelektual Eropa dari rakyat pekerja – dan keterasingan ini akan tumbuh semakin besar, terutama di negara-negara kapitalis muda seperti Austria, Itali, dan negara-negara Balkan – di sebuah epos rekonstruksi sosial yang hebat kaum intelektual – mungkin lebih awal dari pada kelas-kelas intermediate lainnya – menyeberang ke sisi pembela masyakarat yang baru. Sebuah peran yang besar akan dimainkan oleh kualitas sosial kaum intelektual dalam koneksinya dengan ini, yang membedakan mereka dari kelas borjuis kecil komersial dan industrial dan kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang kebudayaan kerja sosial, kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori, fleksibilitas dan mobilitas cara berpikirnya; pendeknya, intelektualitas mereka. Dihadapi dengan kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke tangan yang baru, kaum intelektual Eropa akan mampu meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang tercipta ini tidak akan mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan membuka peluang-peluang yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan kekuatan-kekuatan teknik, organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa membawa ke depan kekuatan-kekuatan tersebut dari barisan mereka, bahkan pada periode awal yang sangat kritis ketika rejim yang baru harus menghadapi kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan politik yang besar.
  1. Pendidikan dalam mobilitas sosial santri dan intelektual
Pendidikan dalam kaitannya dengan mobilitas sosial harus mampu untuk mengubah mainstrem pesrta didik akan realitas sosialnya. Pendidikan yang tepat untuk mengubah paradigma ini adalah pendidikan kritis yang pernah digulirkan oleh Paulo Freire. Sebab, pendidikan kritis mengajarkan kita selalu memperhatikan kepada kelas-kelas yan g terdapat di dalam masyakarakat danberupaya memberi kesempatan yang sama bagi kelas-kelas sosial tersebut untuk memperoleh pendidikan. Disini fungsi pendidikan bukan lagi hanya sekedar usaha sadar yang berkelanjutan. Akan tetapi sudah merupakan sebuah alat untuk melakukan peruabahan dalam masyarakat. Pendidikan harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang realitas sosial, analisa sosial dan cara melakukan mobilitas sosial.
Orang bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam pendidikan. Itulah masalahnya. Di banyak negara berkembang lain mobilitas sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia, korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Cengkeraman kapitalisme nampaknya begitu kental dalam dunia pendidikan di Indonesia. Didorong oleh misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya, lembaga pendidikan akan lebih banyak menerima pelajar-pelajar gedongan meski memiliki IQ pas-pasan. Pelajar yang berprestasi tetapi miskin, tidak dapat sekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial vertikal hanya akan menjadi milik orang kaya yang mampu sekolah tinggi, meskipun secara intelektual diragukan.
Berbarengan dengan meningkatnya gejala privatisasi pendidikan dan aspirasi atas pendidikan yang berkualitas memang juga terjadi peningkatan kecenderungan dalam masyarakat untuk mendirikan pendidikan yang mahal tetapi menjanjikan mutu: Buktinya sekolah/madrasah -baik swasta maupun negeri semakin meningkat jumlahnya dalam kurun hampir dua dasawarsa terakhir.
Jelas, hanya terdapat segelintir kalangan masyarakat biasa disebut sebagai “kelas menengah” – yang mampu membeli pendidikan yang mahal tersebut. Tetapi lembaga lembaga pendidikan yang mahal itu sudah telanjur eksis di mana-mana. dan tersebar dimana-mana dan kalangan publik yang inisk. sekalipun beranak anak mereka ke sana. Dan ini jelas dan perlu dihargai dan didukung.
Disinilah terletak dilema klasik. Pendidikan merupakan akses yang sangat penting – jika tidak satu satunya – untuk mencapai mobilitas sosial; tetapi kaum miskin tidak dapat menjangkau akses tersebut, karena mahalnya biaya. Akhirnyal terciptalah vicious circle (lingkaran setan); kerniskinan menciptakan keterbelakangan pendidikan, dan sosial ekonomi, dan keterbelakangan terakhir ini menghasilkan keterbelakangan pendidikan.
Dalam konteks terakhir inilah kebutuhan pada filantrofi (kedermawanan) secara khusus untuk pendidikan terasa semakin dibutuhkan dan mendesak. Jika tidak, sekolah/madrasah yang berkualitas hanya bisa dimasuki anak anak dari keluarga kaya. Padahal, kita juga tahu, terdapat cukup banyak anak dari kalangan miskin yang cerdas, borbakat, rajin, mau bekerja keras dan dengan demikian, cukup menjanjikan.
Memang tradisi filantropi untuk pendidikan bukanlah sesuatu hal baru di Indonesia. Kita tahu sangat banyak lembaga pendidikan, seperti madrasah/sekolah, pesantren, dan perguruan tinggi yang didirikan dan dikembangkan dengan dana filantropi. Agaknya, hampir bisa dipastikan, lembaga lembaga pendidikan yang dibangun dengan dana filantropi swasta dan masyarakat jauh lebih banyak, dibandingkan dana pemerintah.
Pada dasarnya kata ini mempunyai dua makna, pertama berarti seseorang yang mencari ilmu dalam pesantren, dankedua seseorang yang memeluk agama islam dan rajin dalam mengamalkan ajaran agamanya. Terminologi Geertz dalam the Religion of Java, kaum santri adalah kaum yang dibedakan dengan kaum abangan dan priyayi. Kaum santri dianggap sebagai orang yang menjalankan ajaran Islam dengan baik. Orang-orang yang termasuk dalam terminologi santri ini tidak terbatas hanya pada orang yang menuntut ilmu agama Islam, tetapi juga golongan ulama, termasuk di dalamnya kiai-kiai, atau pemuka-pemuka agama Islam lainnya, yang mereka semua terlibat dalam kelembagaan politik, baik dalam pengertian kelembagaan negara ataupun kelembagaan partai.
Sunni dalam hal ini ditujukkan dengan kecendrungan orang untuk lebih mengunakan al_qur’an dan hadits sebagai sumber utama, daripad penggunaan rasio-akal untuk mematahkan otoritas nash.
Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari Austria. Dia adalah perwakilan dari garis pemikiran Austromarxisme.

Arti Definisi/Pengertian Status Sosial & Kelas Sosial - Stratifikasi/Diferensiasi Dalam Masyarakat

Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan yang berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang yang menempati jabatan tinggi seperti gubernur dan wali kota dan jabatan rendah seperti camat dan lurah. Di sekolah ada kepala sekolah dan ada staf sekolah. Di rt atau rw kita ada orang kaya, orang biasa saja dan ada orang miskin.
Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan, cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain.
Beragamnya orang yang ada di suatu lingkungan akan memunculkan stratifikasi sosial (pengkelas-kelasan) atau diferensiasi sosial (pembeda-bedaan).
Arti Definisi / Pengertian Status Sosial :
Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah.
Arti Definisi / Pengertian Kelas Sosial :
Kelas sosial adalah stratifikasi sosial menurut ekonomi (menurut Barger). Ekonomi dalam hal ini cukup luas yaitu meliputi juga sisi pendidikan dan pekerjaan karena pendidikan dan pekerjaan seseorang pada zaman sekarang sangat mempengaruhi kekayaan / perekonomian individu.
Arti Definisi / Pengertian Stratifikasi Sosial :
Stratifikasi sosial adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian masyarakat secara vertikal atau atas bawah. Contohnya seperti struktur organisasi perusahaan di mana direktur berada pada strata / tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada struktur mandor atau supervisor di perusahaan tersebut.
Arti Definisi / Pengertian Diferensiasi Sosial :
Diferensiasi sosial adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian masyarakat secara horisontal atau sejajar. Contohnya seperti pembedaan agama di mana orang yang beragama islam tingkatannya sama dengan pemeluk agama lain seperti agama konghucu, budha, hindu, katolik dan kristen protestan.
Artikel Terkait :

Sosiologi Agama

Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi adalah untuk melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakt. Dan sejarah peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai definisinya- yang khas dan diwujudkan dalam perilaku keseharian masyarakat.
Seorang sosilog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai : Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.
Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Marx memiliki pendapat yang agak sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaranpalsu” untuk mengalihan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.
Kritik Marx atas agama ini adalah refleksi dalam konteks zamannya dimana kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak atas struktur kapitalisme yang menindas masyarakat kelas bawah. Marx menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas. Agama tidak mamu menjadi alat perubahan dan perlawanan masyarakat miskin yang tertindas.
http://puspek-averroes.org/2009/07/26/agama-dan-transformasi-sosial/
Bab I Pandangan Sosiologis Tentang Agama
Karena luas dan keanekaragaman pokok bahasannya, maka bidang agama merupakan sesuatu yang sulit untuk diukur dengan menggunakan penilaian sosiologi. Bagi kebanyakan di antara kita, perhatian utama terhadap agama bersifat perorangan dan individualistik. Dalam mengkaji agama tersebut kita cenderung memusatkan pada aspek-aspek etik dan kepercayaan yang lebih bersifat intelektual dan emosional.
William James, dalam definisinya tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat universal, sosial dan institusional. James tertarik kepada agama sebagai fungsi universal masyarakat di mana saja mereka temukan. Perhatiannya adalah kepada agama sebagai salah-satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang dalam mengembangkan dan menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarkat.
Orang pertama yang mendahului bahwa tidak ada definisi (agama) yang benar-benar memuaskan. Karena satu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi (batasan). Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam tersebut. Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat atau kepercayaan manusia yang sudah usang.
Agama memberi lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman keagamaan selamanya tidak dapat diungkapkan.
Penulis-penulis terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai suatu hasil pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Durkheim, dan belakangan juga freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan emosional. Semua yang dijelaskan tentang agama, bahwa agama itu merupakan produk kebudayaan, atau pengembangan dari aktivitas manusia sebagai makhluk pencipta kebudayaan.
Salah satu hal yang terpenting dalam agama pada masyarkat adalah ia harus percaya terhadap hal yang sakral, walaupun ini berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang sangat mengagumkan ataupun sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang dikenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau, sering kita katakan, antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the secular or the profane).
Ciri umum apakah yang kita temukan dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tidak terbatas ini, yang bisa disebut sakral? Apabila kita memperhatikan benda-benda dan wujud-wujudnya saja kita akan menemukan jawaban. Menurut emile durkheim, bukan benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari yang sakral, tetapi justeru berbagai sikap dan perasaan yang memperkuat kesakralan benda-benda itu. Dengan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh perasaan.
Berkaitan erat dengan yang sakral, atau suci, adalah yang tidak suci; yang mencakup apa saja yang dianggap mencemarkan yang suci itu. Untuk menghindari kemungkinan timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral di pagari dengan larangan-larangan atau tabu-tabu.
Bab II Fungsi-Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Istilah fungsi, menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain, untuk mempertahankan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan terus-menerus.
Tujuan yang diharapkan untuk meningkatkan kesempatan mencapai kebahagiaan Nirwana (surga), sedangkan yang diharapkan orang metodis dengan perbuatannya itu adalah untuk menyalurkan kebahagiaannya karena yakin bahwa dia diselamtkan karena rahmat Tuhan dari dosa-dosanya. Tujuan-tujuan lain yang diakui oleh para anggota berbagai kelompok keagamaan itu berkaitan dengan kehidupan di dunia lain, masuk surga dan terhindar dari neraka, meringankan (beban) arwah di tempat penyucian dosa, dan memperoleh jaminan untuk berpindah ketingkat kehidupan yang paling tinggi. Meskipun demikian para penganut agama lainnya mungkin mengatakan bahwa tujuan mereka adalah mengharmoniskan jiwa mereka dengan alam semesta, mengagungkan Tuhan dan melaksanakan kehendak-nya secara sempurna, atau dengan sembahyang, berdoa mereka membujuk dewa-dewa agar berkenan memberikan rahmat kepada umat manusia.
Tanpa adanya maksud-maksud yang disadari semacam itu, sangat boleh jadi tingkah-laku keagamaan tidak akan dilaksanakan. Akibat-akibat yang tidak disengaja dari tingkah-laku mereka seringkali lebih penting bagi pemeliharaan masyarakat daripada tujuan-tujuan mereka yang disadari. Maksud dari itu semua fungsi-fungsi yang tidak disengaja yang dilaksanakan oleh suatu bentuk tingkah-laku institusional tertentu kadang-kadang dinyatakan oleh sarjana sosiologi sebagai fungsi latent (tersembunyi); sedangkan fungsi yang disengaja, tujuan-tujuan yang resmi dari lembaga tersebut disebut fungsi manifest (nyata).
Sumbangan agama terhadap pemeliharaan masyarakat. Pertama, masyarakat mempunyai kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaannya sampai batas minimal, dan kedua, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat beberapa kontradiksi dan ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu beberapa jenis persetujuan bersama, atau konsesnsus, mengenai wujud kewajiban-kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga mengenai adanya kekuatan yang mampu memaksa orang-orang dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, minimal diperlukan untuk mempertahankan ketertiban masyarakat.
Pada umumnya sesuai dengan nilai-nilai sosial. Bahwasanya masyarakat sedikit banyak ditemukannya konsep-konsep yang jelas mengenai tingkah-laku yang diakui sesuai standar tingkah-laku itu. Yang membentuk nilai-nilai sosial ini, sering disebut oleh sarjana-sarjana sosiologi sebagai norma-norma sosial.
Karya Durkheim di bandingkan dengan karya-karya para sarjana sosiologi lainnya lebih banyak mengungkapkan hakikat antaraksi antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang berkaitan dengan kewajiban sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar anggota masyarakat.
Dengan demikian nilai-nilai keagamaan merupakan landasan bagi sebagian besar sistem nilai-nilai sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah dalam lapangan yang sekarang sering kita sebut pendidikan agama (religious education). Dari sebagian hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia sekuler, karena penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat menerima dan menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri kekurangberhasilannya di dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran kepribadian. Maka harus ada kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.
Bab III Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama
Di dalam seluruh masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, orang yang membedakan antara masalah-masalah yang sakral dan yang sekuler. Ada tiga tipe masyarakat. Tipe pertama adalah masyarakat dimana nilai-nilai yang sakral kuat sekali. Masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik mereka rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas sosial mereka relatif masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih amat sederhana.
Penganut agama yang sama; oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan maupun rekreatif.
Tipe masyarakat ini cukup kecil jumlah anggotanya k`rena sebagian besar adat-istiadatnya dikenal. Masyarakat ini berpendapat bahwa pertama, agama memasukkan pengaruhnya yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak; kedua dalam keadaan lembaga lain selain keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
Tipe kedua mencerminkan sejenis lingkungan di antara dua tipe lain tersebut. Tipe kedua ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan lebih besar jumlah penduduknya, tingkat perkembangan teknologi yang lebih tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, pertanian dan industri tangan, beberapa pusat perdagangan kota. Batas-batas yang lebih tegas dapat diketahui kapan orang-orang pergi berkerja, bermain, atau pergi bersembahyang daripada, misalnya di kalangan penduduk (pulau) Trobriand.
Agama tentu saja memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit banyaknya masih dapat dibedakan.
Tipe ketiga adalah masyarakat di mana nilai-nilai sekuler sangat berpengaruh. Deskripsi di bawah ini jelas agak condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika Serikat. Akan tetapi yang disebut terakhir ini, karena tingginya tingkat sekularismenya, bisa dianggap sebagai salah-satu contoh yang apling mirip dengan masyarakat tipe ketiga ini.
Dalam tipe masyarakt ketiga ini karena sekuler di bidang ekonomi bisa juga mengambil warna sakral yang semu. Di dalam banyak deskripsi yang populer mengenai tatanan ekonomi pada masyarakat modern tampak bahwa seringkali kata uang dapat diganti dengan moral, tanpa terfikir apakah ini merupakan kesalahan cetak atau kesalahan tulisan.
Tingkah-laku sejumlah orang dalam masyarakat industri yang relatif modern dibentuk semata-mata, atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan. Kelemahan nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja, antara lain di sebabkan oleh keanekaragaman sistem nilai dari berbagai organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendaptkan kesetiaan setiap individu anggotanya.
Eksistensi sub-sub masyrakat yang lebih kecil di dalam masyarakat kita yang lebih luas ini dengan konsepsi mereka yang berbeda-beda tentang peranan agama menimbulkan konflik-konflik dan ketidaksesuaian baik dalam tatanan sosial maupun dalam kepribadian mereka.
Bab IV Agama dan Ketegangan Manusia
Di kalangan semua masyarakat terdapat masa-masa di mana segala sesuatu berjalan lancar, kewajiban-kewajiban sosial berjalan normal, dan pria-wanita melaksanakan peranan sosial mereka dengan cukup aman sehingga teman-teman mereka akan melaksanakan hal yang sama pula. Bahwa mereka dapat saling mempercayai satu sama lain, dan mereka tahu sebagian besar dari apa yang dapat mereka harapkan di dunia natural maupun dunia sosial.
Pada saat-saat kebanyakan masyarakat di mana orang melakukan pekerjaan tanpa ketegangan yang berarti dan alat-alat yang tersedia pada mereka cukup untuk mencapai tujuan yang didambakan, tapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Akan tetapi kita mengetahui bahwa tragedi dan ketegangan itu merupakan sifat dasar dari situasi manusia. Baik itu besar atau kecil, dalam semua tipe masyarakt antara harapan-harapan yang dilandasi oleh sikap budaya mereka dan tercapainya harapan-harapan tersebut. Oleh karena itu cara ilmiah yang praktis, bagaimanapun tinggi perkembangannya, tidak pernah cukup untuk memenuhi situasi manusia. Maka adapula yang menggunakan cara ilmiah modern kemungkinan antisipasi dari terciptanya teknologi yang pesat, secara tidak langsung telah mendorong terciptanya aura-aura baru yang tidak dapat di kuasai.
Demikian pula dari satu segi, agama dapat dianggap-meskipun sama sekali tidak berarti bahwa ini adalah gambaran yang tuntas-sebagai salah-satu cara yang paling pengting bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan dapat dibagi dalam dua kategori utama. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang-orang lain yang penting bagi mereka. Lalu dengan kategori kedua, yang penting adalah situasi-situasi di mana kekuatan-kekuatan alam yang sebagian besar tidak dapat dikuasai dan diramalkan bisa membahayakan kebutuhan vital masyarakat yaitu persediaan makanan dan kesehatan.
Kematian selain tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita semua mengetahui bahwa kita pasti akan mati, namun hampir tak seorang pun mengetahui kapan kematian itu akan terjadi. Tak seorang pun, selain barangkali orang yang bunuh diri, dapat merencanakan kematiannya, apalagi mengaturnya. Antara lain karena ketidakpastian inilah kita menemukan interpretasi- interpretasi keagamaan tentang kemtian dalam setiap masyarakat.
Seorang sarjana sosiologi mengira apabila dalam masyarakat kematian yang belum waktunya sudah tidak ada lagi, melalui penerapan ahli seperti dokter dan usaha-usaha untuk menghindar dari terjadinya kecelakaan- kecelakaan, sehingga setiap orang dapat mengharapkan hidup sampai umur 70 tahun, sebagian peranan yang sekarang dimainkan agama dalam urusan- urusan kemanusiaan barangkali akan berubah secara mendasar.
Agama sering dilibatkan terhadap penyesuaian diri dalam berbagai hal seperti istilah magi dalam menguasai yang gaib pada praktik-praktik keagamaan yang semu. Dan agama dilirik oleh sains yang memberi manusia cara-cara empirik dan praktis untuk menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Yang pada akhirnya magi, sains dan agama memberikan tipe-tipe masyrakat yang bermacam-macam. Akan tetapi unsur penyesuaian diri tersebut sama sekali tidak berasal dari lingkungan yang sama. Walaupun memiliki penyerapan dan penafsiran yang berbeda.
Tujuan-tujuan agama terarah kepada hal-hal yang nonempirik, atau dunia lain yang gaib (adikodrati). Meskipun agama seringkali berkaitan dengan kesejahteraan jasmani dan sosial umat manusia, namun agama selalu mempunyai titik acuan yang transendental.
Bab V Agama, Masalah Makna dan Masyarakat
Setiap masyarakat yang telah mampu mempertahankan dirinya dalam jangka waktu lama di tengah-tengah peperangan-peperangan dan kemelut-kemelut yang terjadi berbarengan dengan kehidupan berkelompok mereka, telah mampu mengembangkan sejumlah interpretasi moral terhadap pandangan hidupnya sendiri, sebagai penjelasan tentang persoalan makna kemasyarakatan. Pada kenyataanya juga sama pentingnya adalah bahwa sampai sekarang tak ada sekelompok orangpun yang mampu memberikan penjelasan tentang makna sistem sosialnya yang mengikat erat secara moral itu, tanpa memasukkan beberapa unsur, betapa kecilnya, di luar makna umum yang empirik.
Pertimbangan-Pertimbangan tersebut di atas memberikan konteks umum dengan peranan agama dalam memberikan penafsiran-penafsiran secara moral tentang sejarah umat manusia dan aturan-aturan sosial.
Salah-satu diantara perhatian utama sarjana sosiologi adalah makna yang diberikan oleh agama-agama tertentu mengenai perbedaan-perbedaan posisi dan harga diri kelas-kelas sosial yang beraneka ragam. Dan mengulas interpretasi-interpretasi keagamaan mengenai sistem-sistem stratifikasi sosial.
Bagaimanapun juga pengkajian sosiologis selayaknya kita terapkan pada tempatnya. Di antara pada pengkaji boleh jadi ada yang setuju dengan pemikiran Marxis yang menganggap segala macam interpretasi keagamaan merupakan sekedar rasionalisasi-rasionalisasi, atau bahkan ada yang patuh juga kepada agama tertentu dan juga yang munafik, tetapi memenuhi keinginan-keinginan dari kelas-kelas yang sedang berkuasa.
Oleh karena itu pembahasan di bawah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memisahkan atau menyendirikan faktor-faktor material dan ekonomi di satu pihak dan faktor-faktor keagamaan dan spiritual di lain pihak.
Sistem-sistem kelas memberikan status yang berbeda-beda dan tidak sama kepada anggota-anggota suatu masyarakat. Akibat dari ketidaksamaan sosial tersebut kadang-kadang tidak hanya sangat tajam tetapi juga diperlakukan secara ketat. Situasi ini lagi-lagi menimbulkan masalah penafsiran terhadap sistem sosial dalam pengertian moral dan yang bermakna.
Sistem kelas-kelas atau tingkat-tingkat sosial di Eropa pada abad pertengahan dalam hal-hal yang penting berbeda dengan sistem kasta dalam agama Hindu. Metode yang digunakan oleh pandangan keagamaan untuk memberi makna moral kepada sistem kelas di abad pertengahan tersebut juga berbeda. Dengan demikian sistem pada abad pertengahan tersebut menghidupkan terus ketidaksamaan-ketidaksamaan yang besar memerlukan interpretasi secara moral.
St. Augustine, yang bukunya City of God paling jelas mengungkapkan konsepsi tujuan ini, menjelaskan bahwa pembenaran moral dari umat adalah untuk mempertahankan kondisi-kondisi semacam itu sehingga orang-orang kristen dapat menjalankan kehidupan duniawi mereka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka yang abadi. Selain itu Lembaga-lembaga ekonomi, begitu juga sistem-sistem kelas yang berkaitan, memerlukan interpretasi moral. Pemerataan kekayaan dan cara-cara memperolehnya bisa menimbulkan perasaan-perasaan ketidakadilan dan ketidaksamaan. Di dalam masyarakat-masyarakat ini berbagai ketidakadilan dan ketidaksamaan nasib individu-individu dan negara-negara dengan berbagai bentuknya adalah jelas. Akan tetapi interpretasi-interpretasi sekuler terhadap makna tatanan sosial itu timbul bersama-sama dengan timbulnya interpretasi-interpretasi keagamaan. Oleh karena itu nasionalisme, komunisme dan mungkin demokrasi itu sendiri bisa menjadi agama-agama semu, yang merupakan tandingan agama spritual tradisional.
Bab VI Organisasi Keagamaan
Semua organisasi sosial yang dimaksudkan untuk membentuk tingkah-laku manusia sesuai dengan pola yang ditentukan, baik pola yang ditetapkan oleh doktrin agama, ajaran etik maupun oleh filsafat politik, pasti menghadapi suatu dilema. Jika organisasi tersebut ingin berhasil dalam memperdaya masyarakat sesuai dengan arah tujuannya masing-masing, maka organisasi tersebut harus berhasil dalam dua sektor.
Di satu pihak organisasi tersebut harus menertibkan kebiasaan-kebiasaan para anggotanya sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai. Di lain pihak, apabila organisasi itu juga ingin mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, mereka jelas harus mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar lingkungan mereka. Kedua persyaratan ini ibarat buah simalakama, karena keberhasilan pada salah-satu sektor saja biasanya menimbulkan bahaya pada sektor lainnya.
Oleh karena itu organisasi keagamaan dihadapkan kepada salah-satu di antara dua pilihan: melestarikan kemurnian etik dan spiritualnya dengan risiko lingkungan pengaruh sosialnya terbatas, atau jika organisasi tersebut ingin berpengaruh kuat dalam masyarakat tertentu, mungkin risikonya adalah mengorbankan semua atau sebagian dari cita-cita uatamanya sendiri.
Dilema pokok dalam organisasi keagamaan bisa dilihat lebih jelas apabila kita mengkaji salah-satu di antara manifestasi-manifestasinya yang penting, yaitu gerakan keagamaan. Gerakan keagamaan di sini berarti setiap usaha yang terorganisasi untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi baru mengenai suatu agama yang sudah ada. Gerakan-gerakan semacam itu pada umumnya melalui serangkaian tahap yang relatif teratur baik dan setelah fase-fase pengembangan yang pertama gerakan-gerakan tersebut biasanya jadi mantap hubungannya dengan agama-agama lain. Fase-fase yang lebih tenang dari gerakan-gerakan keagamaan semacam itu bisa menjadi sumber timbulnya gerakan-gerakan keagamaan berikutnya.
Fase pertama, suatu gerakan keagamaan dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya. Pada fase kedua, gerakan tersebut para pengganti si pendiri dipaksa untuk memecahkan dan menjelaskan masalah-masalah penting mengenai organisasi, kepercayaan, dan ritus yang dibiarkan tidak terurus selama si pendiri masih hidup. Pada tahap ini gerakan tersebut secara khas menjadi apa yang sekarang kita sebut dengan sebuah gereja : yaitu organisasi formal dari suatu kelompok pemeluk yang mempunyai kesamaan dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus bersama yang tetap terhadap benda-benda dan wujud-wujud sakral yang mereka sembah.
Sebaliknya, sekte, pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif, dan yang anggota-anggotanya bergabung secara sukarela, biasanya orang-orang dewasa. Sekte-sekte terdiri dari dua jenis pokok: yaitu sekte-sekte yang menarik diri dan sekte-sekte yang militan.
Denominasi (denomination) adalah kelompok yang relatif stabil, sering ukuran dan kompleksitasnya besar, yang mendapatkan anggota-anggotanya sebagian besar karena merasa berhak. Sedangkan Cult adalah suatu tipe kelompok keagamaan kecil yang dalam beberapa hal sama dengan sekte, meskipun keanggotaannya berbeda. Terkadang kepemimpinan cult bersifat kharismatik, informal, tidak tentu dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kota metropolitan yang relatif tidak dikenal bahkan kadang-kadang korup juga. Kepercayaan-kepercayaan cult sering menekankan salah-satu aspek tertentu dari ajaran Kristen. Meskipun tipe-tipe organisasi-organisasi keagamaan yang beraneka-ragam itu mungkin bisa hidup bersama dalam satu masyarakat, walaupun ada beberapa masyarakat yang sesuai ataupun tidak.
Bab VII Agama Dalam Masyarakat Amerika
Pembahasan disebutkan bermacam-macam ilustrasi yang diambil dari suasana Amerika. Tapi sejauh ini telah dibicarakan fungsi-fungsi, organisasi dan perubahan-perubahan pada sistem-sistem keagamaan dalam kerangka sosial dan historis yang lebih luas. Generalisasi sosiologis memerlukan prosedur ini-maksudnya, memerlukan pengkajian bermacam-macam masyarakat, kebudayaan dan agama. Nilai-nilai bangsa Amerika modern barangkali tidak begitu tampak berkaitan dengan agama.
Aktivisme, universalisme dan individualisme–tiga buah contoh aliran yang sangat mengesankan—boleh jadi paling tepat untuk dikemukakan sebagai contoh kecil dari nilai-nilai keagamaan yang melanda kehidupan bangsa Amerika.
Tipe organisasi keagamaan yang telah berkembang di Amerika Serikat, pada umumnya cocok dengan demoraksi politik dan industri kita. Kecocokan ini antara lain karena adanya dua unsur yang berhubungan dari lingkungan keagamaan di Amerika, kedua-duanya timbul sejak masa-masa pertama republik tersebut.
Situasi ini telah menimbulkan akibat-akibat besar, yang positif dan memungkinkan, bagi perkembangan demokrasi liberal. Gereja-gereja di Amerika terbuka terhadap masuknya pengaruh-pengaruh kuat dari sekulerisasi. Amerika Serikat sangat berbeda dengan Inggris, sebagai contoh, bahwa di sana suatu bentuk ecclesia baru sekurang-kurangnya mampu memanfaatkan kekuasaan pemerintahan dalam bidang-bidang pendidikan, rekreaksi, moral dan penyantunan.
Suatu sistem organisasi keagamaan yang majemuk serta pemisahan yang tegas antara gereja dan negara memperlemah kedudukan agama pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang lain. Mengenai organisasi keagamaan yang merefleksikan dan bukannya memberi warna kepada masyarakat Amerika tergambar dalam kesejajaran antara pembagian-pembagian kelas sosial dan berbagai denominasi yang ada.
Tingkatan sosial denominasi-denominasi keagamaan tersebut memang diakui sesuai dengan sistem kelas bangsa Amerika yang bersifat terbuka.
Perpindahan besar-besaran yang terjadi pada dasawarsa terakhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 membawa masuk sejumlah besar masyarakat petani dari Eropa bagian selatan dan timur ke kota-kota kita yang telah padat, termasuk di antara mereka adalah orang-orang yang menganut agama-agama Katolik Romawi, Ortodoks Yunani dan juga agama Yahudi.
Secara organisatoris, beberapa di antara gereja-gereja ini sangat berbeda dengan aliran gereja Protestan di Amerika, suatu kenyataan yang kadang-kadang bisa menimbulkan ketegangan-ketegangan di bidang politik maupun keagamaan.
Namun demikian pada sisi positifnya, ketegangan-ketegangan dan ketidakserasian-ketidakserasian dalam struktur sosial tersebut bisa dianggap sebagai dorongan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian secara kreatif yang kemungkinan timbulnya banyak variasi dalam struktur sosial tersebut.
Terdapat bukti bahwa sampai batas tertentu hal ini telah terjadi di Amerika Serikat dan bahwa upaya secara terus-menerus untuk menciptakan kesatuan dalam keanekaragaman dan ketertiban dengan kebebasan sangat mendukung bagi suatu eksperimentasi yang bermanfaat baik di bidang sosial maupun politik.
Cilangkap., 30 Oktober 2008
Nottingham, Elizabeth K. Agama dan Masyarakat: Suatu Pengantar Sosiologi Agama. trans. Abdul Muis Naharong. Jakarta: PT RajaGrafindoPersada, 1997.
http://aadany-khan.blogspot.com/2009/07/agama-dan-masyarakat.html

Konflik, Dilema Umat Islam

16-April-2007
Akhir-akhir ini hampir tiada hari tanpa berita yang terkait dengan teror dan bom bunuh diri, khususnya di negara berpenduduk mayoritas Muslim. Realitas itu menguatkan asumsi Barat bahwa Islam adalah agama teror dan kekerasan. Di tengah merebaknya aksi kekerasan dan konflik di negeri-negeri Muslim, mayoritas umat Islam berada dalam kemiskinan dan keterbelakang. Kini, konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi persoalan utama umat Islam hampir di seluruh negara. Di letak Islam sebagai ”agama yang unggul” ketika realitas umat seperti itu? Berikut perbincangan Reporter CMM David K. Alka dengan Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Staf Ahli Menteri Pertahanan dan Keamanan RI beberapa waktu lalu:
Bagaimana Anda melihat perkembangan konflik di Timur Tengah saat ini?
Di sini kita melihat dilema paling besar: di Irak, orang Sunni menghadapi dilema yang sulit. Membantu Sunni artinya membantu pemberontak dan melemahkan AS. Sedang membiarkan Syiah berkuasa, orang-orang Sunni menjadi bulan-bulanan pembantaian orang Syiah. Di pihak lain, Iran pun mengalami dilema yang sama di Irak. Membantu Syiah, artinya mendukung pemerintahan boneka AS di Irak. Sedangkan membantu Sunni sama dengan membantu orang-orang yang membom masjid paling suci bagi umat Syiah.

Melihat persoalan tersebut, jelas amat ruwet dan kompleks. Dua mazhab besar Sunni dan Syiah saling berhadapan di satu sisi; sementara di sisi yang lain, negara-negara Arab dan Iran saling berhadapan. Dalam kondisi yang serba kompleks, tampaknya AS akan memilih “menghancurkan” Iran dengan alasan Negeri Mullah itu sedang membuat bom atom melalui reaktor nuklirnya yang tersembunyi. Jika terjadi peperangan antara AS dan Iran, siapa yang paling beruntung?
Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengungguli ketinggian Islam (al-Islaamu ya’lu walaa yu’la ‘alaih). Jika dikaitkan dengan kehidupan umat sekarang, bagaimana makna hadis itu?
Jika kita melihat realitas kehidupan umat di negeri-negeri Muslim kemudian dibandingkan dengan kondisi kehidupan di negeri-negeri non-Muslim tampak jelas kondisi umat Islam yang jauh dari posisi ‘unggul’ tersebut. Di berbagai belahan dunia ada beberapa ciri umat Islam yang khas. Pertama miskin, kedua terbelakang (untuk tidak mengatakan bodoh) dan ketiga diliputi ketidak-adilan. Yang terakhir inilah yang sering memicu konflik internal di negara-negara Islam sehingga mengakibatkan banyak pemerintahan Islam bersikap totaliter. Oleh sebab itu beberapa negara di Timur Tengah justru dikenal sebagai negara-negara yang tidak mengedepankan keadilan dalam pemerintahannya.

Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dilanda kemiskinan?
Ini pun satu persoalan yang sulit dipecahkan. Padahal kenyataannya, 75 persen sumber minyak bumi dunia berada di “perut” negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tapi nasib penduduk umat Islam sendiri amat memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah tidak terdistribusikannya kekayaan negara terhadap penduduk secara adil. Tidak adanya transparansi dan sistem pemerintahannya yang tidak demokratis menjadikan kekayaan negara hanya dinikmati kelompok elit tertentu.

Dari data-data yang Anda peroleh, sejauhmana kaitannya dengan hal tersebut?
Freedom in the World 2000: The Democracy Gap, mengungkapkan dari 192 negara yang ada di dunia saat ini, 121 di antaranya sudah berpemerintahan demokratis. Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yang jumlahnya 47 negara, hanya 11 yang pemerintahannya demokratis. Ini berarti hanya 23% negara-negara Islam yang pemerintahannya transparan dan akuntabel. Sementara dari 145 negara-negara bukan Muslim, 110 (76%) pemerintahanya sudah demokratis. Gambaran ini menunjukkan bahwa di dunia non-Islam prosentase negara-negara yang demokratis tiga kali lipat lebih banyak dibanding di dunia Islam. Gambaran ini cukup menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitas negara Islam terhadap rakyatnya. Ini pasti mempunyai dampak lanjutan, yaitu pada pemerataan kesejahteraan dan pendidikan rakyatnya.

Apa jaminan dari sebuah pemerintahan yang demokratis bagi umat Islam?
Pemerintahan demokratis memang bukan satu-satunya alat ukur untuk mengetahui kredibilitas dan akuntabilitas sebuah negara. Namun, sejauh ini, kadar demokrasi sebuah negara—kata Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi—bisa menjadi ukuran tingkat penyelenggaraan keadilan ekonomi sebuah negara. Sayangnya, negara-negara Islam belum menunjukkan hal itu. Akibat tidak terselenggaranya keadilan ekonomi dan politik, maka kemiskinan dan konflik politik pun merebak. Tragisnya, biasanya konflik politik itu muncul berbarengan dengan pincangnya distribusi ekonomi. Di negara Islam seperti Bangladesh, Jibouti dan Sierra Leon misalnya, konflik internal akibat meluasnya kemiskinan bercampur dengan konflik politik. Dampaknya rakyatlah yang menjadi korban. Di negara-negara kaya seperti Arab Saudi dan Kuwait, misalnya, konflik itu muncul lebih bersifat politis. Namun akibatnya sama: negara tidak stabil. Atau kalau kelihatannya stabil, kestabilannya adalah semu. Itulah yang terjadi pada dunia Islam.(CMM)
artikel ini di kutip dari http://www.cmm.or.id

REMAJA DAN BUDAYA
Mencoba Memahami Dan Menerapkan Teori
Pierre Bourdieu

       I.            PENDAHULUAN
Dari sudut pandang sosiologis kebudayaan dilihat sebagai pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Cara berpikir dan bertindak, bahkan cara mengembangkan perasaan tidak dilakukanorang tanpa patokan, tetapi mengikuti satu pola tertentu, suatu pola yang sudah dikenal dan disepakati bersama dan hendak dilestarikan eksistensinya. Anggota baru yang masuk ke dalam satuan budaya itu karena kelahiran atau sebagai pendatang, dan belum mengenal pola tingkah laku masyarakat itu, diwajibkan mengenal dan mempelajari serta membiasakan diri untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan kebudayaan setempat.1
Kebudayaan menjadi perhatian para strukturalis, salah satunya Pierre Bourdieu yang memiliki konsep habitus. Menurut Bourdieu aturan budaya yang tersirat dalam karya mereka terlalu mekanis, tidak berbeda dengan arah kecenderungan di atas. Sebagai alternatifnya, ia mengajukan konsep habitus yang lebih fleksibel. Habitus ini didefenisikan sebagai seperangkat skema (Tatanan) yang memungkinkan agenn-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktik-praktik yang telah diadapttasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi.
Dalam tulisan ini teori Bourdieu tersebut akan diterapkan atau dikaitkan dengan satu objek yang pada dasarnya berkaitan, karena objek tersebut, bisa dikatakan sebuah komunitas ataupun sekumpulan individu dalam masyarakat yang memiliki kesamaan usia dan fisik yang dapat memberikan ciri khas dalam keanggotaan mereka di masyarakat. Dimana, ciri tersebut terbentuk dari struktur sosial di luar diri mereka yang diinternalisasikan dan kemudian menjadi habitus.

       I.            PEMBAHASAN
1.      Teori Habitus Pierre Bourdieu
Habitus didefenisikan sebagai seperangkat skema ( tatanan ) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktek-praktek yang telah diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi. Intisari dari hal ini adalah sejenis “improvisasi yang teratur”, sepotong prase yang berasal dari rumusan dan tema puisi lisan yang dikaji oleh Albert Lord.2
Selain itu, habitus juga didefenisikan sebagai struktur mental atau kognitif yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitués dibayangkan sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwjudkan. Sebagai contohnya, kebiasaan makan dengan menggunakan tangan kanan, yang dipelajari seseorang sejaka kecil dari orang-orang yang ada disekittarnya, sehingga terbawa sampai ia dewasa, karena kebiasaan tersebut sudah ia internalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh lainnya, yaitu kebiasaan seseorang berjalan di sebelah kiri pada jalan umum dan raya, dikarewnakan peraturan lalu-lintas, dimana hal itu merupakan peraturan dalam kehidupan sosial yang harus ditaati, karena ketaatan dari individu tersebut, hal yang tadinya merupakan peraturan menjadi kebiasaan kareana sudah terinternalisasi dalam diri setiap individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa habitus adalah struktur sosial yang diinternalisasi sehingga menjadi suatu kebiasaan yang terus diwujudkan.
Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakanhasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode histories yang relative panjang. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Dan tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Menurut Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk sebaiknya dilakukan.3 Seperti halnya makan, minum, bdrbicara, dan lain sebagainya.

1.      Penerapan Teori Pierre Bourdieu dalam kehidupan Remaja
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang sangat menarik untuk dibicarakan, karena remaja memiliki banyak hal yang menarik untuk diteliti.
Masa remaja adalah masa transisi, dimana peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini remaja banyak mendapatkan goncangan dikarenakan bbanyak hal dilematis yang harus mereka hadapi. Pada satu sisi remaja dikatakan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, dan disisi lain remaja menganggap dirinya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan dari orang disekitarnya, hal inilah sebagai salah satu penyebab ketergoncangan remaja.
Sikap dan tingkah laku remaja, pada dasarnya disesuaikan dengan masa dan lingkungan yang ada disekitarnya. Tidak bisa seseorang mengatakan, kenapa remaja sekarang begini tidak seperti dulu dan sebaliknya. Mungkin bagi seorang sosiolog, pemikiran seperti itu sangat kolot dan tidak dipahami dari situasi dan kondisi yang ada. Remaja sebagai agen dalam pemikiran Bourdieu, bersikap dan bertingkah laku ataupun berbicara yang menjadi ciri suatu remaja pada satu waktu adalah sosialisasi, dimana remaja sebagai makhluk sosial dari sejak kecil, belajar makan, berbicara, berpakaian, dan lain sebagainya adalah merupakan hasil dari ia berinteraksi dari lingkungan sosial yang ada disekitarnya, sehingga terkadang semua yang ada di dalam diri remaja itu adalah cerminan dari struktur sosial yang ada di sekitarnya. Apa yang ia pelajari lalu ia terapkan dalam kehidupan sosial dan berlangsung terus menerus sehingga apa yang ia pelajari itu terinternalisasi dalam dirinya, sehingga menjadi habitus yang menjadikan remaja ataupun masyarakat lainnya berbeda.
Apalagi jika berbicara remaja sekarang, dulu, desa, ataupun kota, cukup jelas sekali. Pada masa-masa 1980-an dan sebelumnya remaja sangat menurut dengan apa yang dikatakan orang tua ataupun orang lain yang lebih tua darinya, kehidupannya pun sangat sederhana, pulang sekolah membantu orang tua, dan setelah itu langsung pergi ke surau untuk mengaji, karenaga tidak banyak yang bisa dilakukan oleh remaja pada masa itu. Hal ini juga menggambarkan remaja desa yang tidak banyak memiliki kesempatan dalam menikmati kehidupan sebagai remaja.
Lain halnya dengan remaja pada zaman sekarang, kebebasan pemikiran yang memang menjadi landasan di suatu negara, khususnya Indonesia, menjadikan generasi muda semakin bebas berpikir dan merasa dapat bertindak bebas pula. Sebagai contoh, remaja dalam suatu wadah tertentu, lebih banyak menghabiskan waktu untuk hura-hura, berkumpul membicarakan hal yang tidak penting ataupun sekedar makan maupun jalan. Teknologi yang maju menjadikan banyak perubahan dalam perilaku remaja. Gambaran remaja yang hedonis dalam media televisi dalam bentuk sinema elektronik (Sinetron), hal itu mereka lihat dan secara tidak langsung mereka lakukan dan lambat laun masuk ke dalam diri mereka, sehingga perilaku mereka pun menjadi hedoinis pula.
Pergaulan remaja yang sekarang juga banyak dikaitkan dengan seks bebas, pada dasarnya diperoleh remaja dari lingkungan sosialnya, baik dari teknologi yang semakin maju, maupun lingkungan sosial yang dekat dengan remaja, atau dengan kata lain lingkungan sosial sangat berperan dalam menjadikan habitus remaja, khususnya keluarga.

III. PENUTUP
Remaja yang berbeda tempat, waktu, anggota dapat menjadikan remaja yang berbeda pula. Karena pada dasarnya manusia yang bermasyarakat selalu berbeda berdasarkan lingkungan, waktu, kondisi pada masanya, sehingga interaksinya pun berbeda. Namun, hal-hal ini yang sebelumnya merupakan struktur sosial biasa menjadi ciri suatu komunitas tertentu yang diinternalisasikan menjadi sebuah habitus bagi remaja tersebut.
       I.            REFERENSI
1.      D. Hendropuspito, OC., SOSIOLOGI SISTEMATIK, (Kanisius: Jakarta), 1989
2.      Peter Burke, SEJARAH DAN TEORI SOSIAL, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2001
3.      Ritzer, George, dan Goodman, Douglas, Teori Sosiologi Modern, Jakarta: Kencana,2003.
1 D. Hendropuspito, OC., SOSIOLOGI SISTEMATIK, (Kanisius: Jakarta), 1989, h. 149.
2 Peter Burke, SEJARAH DAN TEORI SOSIAL, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia), 2001, h. 179-181.
3 George Ritzer, dan Doouglas Goodman, Teori Sosiologi Modern, (Jakarta: Kencana),2003, h. 523-524
Dalam fakta sosial berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan-hubungan terpola dengan anggota masyarakat lain dipedomani oleh norma dan adat istiadat seseorang.
Fakta sosial adalah suatu cara bertindak yang tetap atau sementara, yang memiliki kendala dari luar; atau suatu cara bertindak yang umumya dalam suatu masyarakat yang terwujud dengan sendirinya sehingga bebas dari manifestasi individual” (Emile Durkheim).(hal 4)
Manusia adalah makhluk beragama” begitu kata para ilmuwan memang itulah kenyataan. Namun kenyataan juga agama yang dianut manusia tidak hanya satu. Ketika klaim kebenaran agama yang dianut seseorang atau sekelompok orang dihadapakan pada klaim kebenaran agama yang lain, tidak jarang timbul benturan, perselisihan, bahkan peperangan yang bernuansakan agama. Itulah konsekuensi logis memahami agama hanya berdasarkan pendekatan teologis. Oleh karena itu, agar fenomena keberagaman manusia itu dapat melahirkan kedamaian dan persaudaraan, seyogianya setiap penganut agama memahami keyakinan agama yang lain melalui pendekatan sosiologis. Kemudian untuk pengertian sosiologi sendiri adalah suatu kajian ilmiah tentang kehidupan masyarakat manusia. Sosiolog (ahli sosiologi) berusaha mengadakan penelitian yang mendalam tentang hakikat dan sebab-sebab dari berbagai keteraturan pola pikiran dan tindakan manusia secara berulang-ulang. Berbeda dengan psikolog, yang memfokuskan sasaran penelitiannya kepada berbagai karakterisitk pikiran dan tindakan perorangan, sosiolog hanya tertarik pada pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kelompok atau masyarakat.(hal 9)
Inilah salah satu nilai penting buku ini.
Buku ini berusaha mengungkap secara konseptual teori-teori sosiologis tentang agama, tentang kiat melakukan kajian terhadap agama dengan pendekatan sosiologis, juga tentang konsep kerukunan antar umat beragama di indonesia. Singkatnya buku ini berusaha mengungkap bagaimana seseorang mengekspresikan keberagamaannya di hadapan penganut agama lain tanpa ada benturan.
Teori jiwa “agama yang paling awal bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di dunia ini tidak hanya dihuni oleh makhluk materi, tetapi juga oleh makhluk immateri yang disebut jiwa” (Edward Burnet Taylor : 1832-1917). Teori batas akal “permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala yang tidak dapat diterangkan oleh akalnya.” (James G Frazer dari Inggris)….(hal 24)
Buku ini sangat berguna bagi siapa saja yang berusaha memahami gejala agama-agama secara sosiologis, untuk direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam wujud kerukunan beragama. Ketahuilah, kini berkembang suatu ‘kesadaran’ bahwa salah satu upaya untuk menumbuhkan kerukunan hidup beragama adalah dengan memahami gejala keberagaman manusia yang beragam dan itu dapat dihampiri diantaranya melalui pendekatan sosiologi. Inilah pentingnya disiplin ilmu sosiologi agama.
http://mukhrish.wordpress.com/2009/06/25/sosiologi-agama-penulis-dr-h-dadang-kahmad-m-si/
Popularity: 31% [?]

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Aris Suyanto Visit Original Post Islamic2 Template