Menurut
Paul B. Horton, mobilitas sosial adalah suatu
gerak perpindahan dari satu kelas sosial ke kelas sosial lainnya atau gerak pindah
dari strata yang satu ke strata yang lainnya.
Sementara menurut Kimball Young dan Raymond W. Mack, mobilitas sosial adalah suatu
gerak dalam struktur sosial yaitu pola-pola tertentu yang
mengatur organisasi suatu kelompok sosial. Struktur sosial mencakup sifat
hubungan antara individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan
kelompoknya.
Dalam
dunia modern, banyak orang berupaya melakukan mobilitas sosial. Mereka yakin
bahwa hal tersebut akan membuat orang menjadi lebih bahagia dan memungkinkan
mereka melakukan jenis pekerjaan yang peling cocok bagi diri mereka. Bila
tingkat mobilit`s sosial tinggi, meskipun latar belakang sosial berbeda. Mereka
tetap dapat merasa mempunyai hak yang sama dalam mencapai kedudukan sosial yang
lebih tinggi. Bila tingkat mobilitas sosial rendah, tentu saja kebanyakan orang
akan terkukung dalam status nenek moyang mereka. Mereka hidup dalam kelas sosial tertutup.
Mobilitas
sosial lebih mudah terjadi pada masyarakat terbuka karena lebih memungkinkan
untuk berpindah strata. Sebaliknya, pada masyarakat yang sifatnya tertutup
kemungkinan untuk pindah strata lebih sulit. Contohnya, masyarakat feodal atau
pada masyarakat yang menganut sistem kasta. Pada
masyarakat yang menganut sistem kasta, bila seseorang lahir dari kasta yang
paling rendah untuk selamanya ia tetap berada pada kasta yang rendah. Dia tidak
mungkin dapat pindah ke kasta yang lebih tinggi, meskipun ia memiliki kemampuan
atau keahlian. Karena yang menjadi kriteria stratifikasi adalah keturunan.
Dengan demikian, tidak terjadi gerak sosial dari strata satu ke strata lain
yang lebih tinggi.
Santri dalam komunitas pesantren merupakan
bagian dari masyarakat sunni yang dapat didefinisikan sebagai
mayoritas umat islam yang menerima otoritas sunnah Nabi dan otoritas seluruh
seluruh generasi pertama umat islam, serta validnya kesejarahan komunitas dan
mayoritas muslim. Dalam menjaga persatuan, santri mengutamakan kepentingan
jamaah alam setiap pengambilan keputusan.
Sedangkan
intelektual bukanlah sebuah kelompok yang terikat oleh sebuah hukum sejarah,
tetapi sebuah strata sosial yang meliputi semua pekerjaan “otak”. Bagaimanapun
sulitnya untuk menarik garis demarkasi antara kerja “manual” dan “otak”,
ciri-ciri sosial umum dari kaum intelektual cukup jelas, tanpa perlu menuju ke
detil-detil. Kaum intelektual adalah sebuah kelas tersendiri – Adler menyebut mereka sebuah kelompok
inter-kelas [yang dimaksud disini adalah sebuah kelompok yang tidak terikat
pada satu kelas saja], tetapi pada esensinya tidak ada perbedaan – yang eksis
di dalam kerangka masyarakat .
Dalam
pembahasan kali ini kami akan berusaha melihat bagimana mobilitas kaum santri
dan intelektual dalam menjaga eksistensi dalam dunia global.
II. Rumusan Masalah
- Bagaimana strategi pendidikan dalam upaya tercapainya mobilitas sosial santri dan intelektual?
- Bagaiana terjadinya mobilitas sosial kaum santri dan intelektual?
- Bagaimana bentuk mobilitas kaum santri dan intelektual?
III. Pembahasan
- Strategi pendidikan dalam upaya mobilitas sosial santri dan intelektual
Strategi
pembaharuan pendidikan merupakan perspektif baru dalam dunia pendidikan yang
mulai dirintis sebagai alternatif untuk memecahkan masalah-masalah pendidikan
yang belum diatasi secara tuntas. Jadi pembaharuanm pendidikan dilakukan untuk
memecahkan masalah-masalah yang ada dalam dunia pendidikan dan menyongsong arah
perkembangan dunia pendidikan yang lebih memberikan harapan kemajuan ke depan.
Dalam
proses perubahan pendidikan paling tidak memiliki dua peran yang harus
diperhatikan, yaitu: 1) Pendidikan akan berpengaruh terhadap perubahan
masyarakat, dan 2) Pendidikan harus memberikan sumbangan optimal terhadap
proses trnasformasi menuju terwujudny` masyakat madani. Proses perubahan sistem
pendidikan harus dilakukan secara terencana dengan langkah-langkah yang
strategis, yaitu “mengidentifikasi berbagai problem yang menghambat terlaksanya
pendidikan dan merumuskan langkah-langkah pembaharuan yang lebih bersifat
strategis dan praktis sehingga dapat diimplementasikan dilapangan”
langkah-langkah tersebut harus dilakukan secara terencana, sistemnatis, dan
menyentuh semua aspek, mengantisipasi perubahan yang terjadi, mampu merekayasa
terbentuknya sumber daya manusia yang cerdas (dalam hal ini adalah bagaimana
pendidikan memberikan kemampuan santri untuk mampu keluar dari romantisme masalalu
yang mengukung pemikiran pembaharuan tanpa melanggat etika almuhafadhotul
‘ala qodimi as-sholeh-menjadi santri berkemampuan intelektual tinggi), yang
memiliki kemampuan inovatif dan mampu meningkatkan kualitas manusia. Oleh karen
itu, pendidikan betul-betul akan berpengaruh terhadap perubahan kehidupan
masyarakat dan dapat memberikan sumbangan optimal terhadap proses transformasi
ilmu pengetahuan dan pelatihan dan dapat diimplementasikan dalam kehidupan
manuisa.
Bermain
logika dengan teka-teki cerdas dan jenaka ini tumbuh dalam keguyuban dunia
pesantren. Tradisi itu berkembang karena struktur ritme kehidupan dunia santri
ini bersifat self-sustain. Sifat ini bukan saja ditandai oleh kurang
bergantungnya komunitas santri dalam ekonomi, budaya, dan intelektual pada
aktor-aktor eksternal. Melainkan juga oleh berkembangnya mental qanaah
(menerima apa adanya yang diberikan Tuhan) di kalangan mereka. Dalam ritme
kehidupan yang berjalan secara teratur, tanpa tergesa-gesa, inilah
gagasan-gagasan teka-teki cerdas muncul bukan saja untuk mengasah otak, juga
untuk memberi makna terhadap kehidupan itu sendiri.
Secara
sosiologis, kehidupan mandiri inilah yang memperkuat kohesivitas internal
komunitas santri. Mental qanaah yang dianut membuat setiap anggota
komunitas cenderung menggelar sikap ikhlas, karena itu menolak ambisi pribadi.
Kombinasi keduanya ini membuat resiliensi (daya tahan) mereka terhadap tekanan
eksternal menjadi paripurna. Dengan keikhlasan dan tanpa ambisi personal,
mereka mempercayakan kepemimpinan kepada seseorang untuk menghadapi dunia luar.
- Proses Mobilitas Sosial Kaum Santri Dan Kaum Intelektual
Mobilitas
sosial adalah sebuah menggerakkan masyarakat dalam kegiatan dan mengalamai
perubahan yang lebih baik. Mobilitas sosial ada yang terjadi secara vertikal
dan ada yang horisontas. Mobilitas secara vertikal terjadi apabila seorang
mengalamai kemajuan dan peningkatan dalam taraf sosialnya. Contohnya: seorang
buruh pabrik yang giat bekerja, karena ia dipandang ulet dan rajin oleh
atasannya lalu diangkat menjadi kepala bagian. Sedangkan mobilitas sosial
horisontal adalah apabila perubahan yang terjadi secara linier. Contohnya:
seorang petani yang berubah pekerjaanya menjadi buruh pabrik, dalam hemat
penulis mobilitas ini lah yang terjadi dalam kaum santri dan intlektual, dimana
kaum santri menjadi intelektual dan kaum intelektual masuk menjadi kaum santri.
Dalam melakukan mobilitas sosial ada beberapa faktor yang menjadi penghambat
dianataranya: kesenjangan ekonomi, kebodohan, perbedaan kasta, kemalasan. Faktor
yang paling menghambat dalam mobilitas sosial adalah kebodohan atau kurangnya
pendidikan. Seperti faktor penghambat, faktor yang mempengaruhi mobilitas
sosial pun cukup banyak. Diantaranya: keinginan untuk berubah, bosan dengan
keadaan yang sudah ada, dan pendidikan.
Disinilah
pendidikan memainkan peranannya untuk membentuk intelektual manusia, sehingga
kemampuan intelektual ini menjadi lokomotif mobilitas sosial, ekonomis. Sebab,
dalam kehidupan nyata, kekuatan intelektual ini tentu saja tidak dapat dipisahkan
dari kekuatan sosial. Akibat dari faktor keterpelajaran, keterdidikan atau
intelektualitas ini, citra pendidikan dalam masyarakat kita selalu berada pada
lingkaran persoalan konseptual berupa: (1) perbenturan modern dan tradisional,
(2) masalah Barat dan Timur, (3) ketegangan antara kaya dan miskin, dan (4)
ketegangan dan upaya memperoleh ruang publik dan otonomi.
Gambaran teori Marxis nampaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk melakukan perubahan. Meskipun teori ini lahir dari dunia barat. Namun, pola perubahan yang dilakukan cukup baik. Teori Marxisme mengajarkan kita untuk mampu melakukan perubahan agar terbentuknya masyarakat yang tanpa kelas. Dalam artian semuanya sama dalam kelas masyarakat. Tidak ada lagi kelas borjuis dan kelas proletar. Kesenjangan ekonomi yang ada dijadikan sebagai alat untuk malakukan mobilitas sosial. Masyarakat diajak untuk melakukan perubahan agar dapat sejajar dengan golongan kelas lain. Dan kelas yang borjuis dipaksa untuk mau berbagi dengan kelas proletar. Contoh mobilitas sosial yang paling sukses di dunia ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, dimana Rasul mampu untuk mengubah tatanan masyarakat yang jahiliah menjadi masyarakat yang sangat beradab. Dan jalan yang ditempuh untuk merubah tatanan masyarakat pada waktu itu adalah melalui pendidikan.
Gambaran teori Marxis nampaknya dapat dijadikan bahan refleksi untuk melakukan perubahan. Meskipun teori ini lahir dari dunia barat. Namun, pola perubahan yang dilakukan cukup baik. Teori Marxisme mengajarkan kita untuk mampu melakukan perubahan agar terbentuknya masyarakat yang tanpa kelas. Dalam artian semuanya sama dalam kelas masyarakat. Tidak ada lagi kelas borjuis dan kelas proletar. Kesenjangan ekonomi yang ada dijadikan sebagai alat untuk malakukan mobilitas sosial. Masyarakat diajak untuk melakukan perubahan agar dapat sejajar dengan golongan kelas lain. Dan kelas yang borjuis dipaksa untuk mau berbagi dengan kelas proletar. Contoh mobilitas sosial yang paling sukses di dunia ini adalah apa yang telah dilakukan oleh Rasulullah SAW, dimana Rasul mampu untuk mengubah tatanan masyarakat yang jahiliah menjadi masyarakat yang sangat beradab. Dan jalan yang ditempuh untuk merubah tatanan masyarakat pada waktu itu adalah melalui pendidikan.
Dikotomi
sosial antara priayi dan wong cilik sudah lama mengabur.
Program pendidikan umum (pemerintah dan swasta) menjadi sebab
mobilitas sosial. Juga munculnya sektor usaha menyebabkan mobilitas
sosial. Namun, secara resmi dikotomi sosial dihapus pada 1945 ketika,
baik priayi maupun wong cilik, menjadi pegawai negeri. Soekarno yang
berasal dari golongan priayi menjadi presiden. Mobilitas sosial itu
mencapai puncaknya pada 1966 saat Soeharto yang berasal dari wong
cilik menjadi presiden. Karier kemiliteran ternyata menjadi sarana
yang baik untuk mobilitas sosial itu. Pada zaman Belanda ada KNIL,
zaman Jepang Peta, Heiho, danHizbullah ,
RI punya TNI/Polri.
Pembagian kerja masyarakat juga terjadi sehingga dikotomi sosial itu
mengabur dan menghilang. Pekerjaan-pekerjaan baru juga muncul: dosen,
profesional (advokat, notaris, anggota legislatif), dan eksekutif
perusahaan.
Program pendidikan umum (pemerintah dan swasta) menjadi sebab
mobilitas sosial. Juga munculnya sektor usaha menyebabkan mobilitas
sosial. Namun, secara resmi dikotomi sosial dihapus pada 1945 ketika,
baik priayi maupun wong cilik, menjadi pegawai negeri. Soekarno yang
berasal dari golongan priayi menjadi presiden. Mobilitas sosial itu
mencapai puncaknya pada 1966 saat Soeharto yang berasal dari wong
cilik menjadi presiden. Karier kemiliteran ternyata menjadi sarana
yang baik untuk mobilitas sosial itu. Pada zaman Belanda ada KNIL,
zaman Jepang Peta, Heiho, dan
Pembagian kerja masyarakat juga terjadi sehingga dikotomi sosial itu
mengabur dan menghilang. Pekerjaan-pekerjaan baru juga muncul: dosen,
profesional (advokat, notaris, anggota legislatif), dan eksekutif
perusahaan.
Dikotomi
budaya abangan dan santri yang mempunyai latar belakang panjang itu juga
mengabur secara pelan-pelan. Semula abangan dan santri memang sangat
berpengaruh pada dunia politik. Ada Si Merah dan Si Putih, ada PKI, PNI, dan
Masyumi/NU. Dalam kepercayaan-kepercayaan nativistik (Agama Jawa, Saminisme,
Sarekat Abangan), agama kaum santri ditolak. Namun, dikotomi budaya mulai
mengabur berkat adanya mobilitas budaya: haji, buku-buku, dan pergaulan.
Pendidikan
agama di sekolah-sekolah mempunyai andil yang sangat
besar. Anak-anak kaum santri malahan sangat tergantung pada sekolah
dan perguruan tinggi agama negeri. Pendidikan agama dari semua
jenjang (madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) negeri maupun
swasta tersedia, baik bagi abangan maupun santri. Tidak ada lagi
dikotomi budaya abangan dan santri. Dari dikotomi budaya abangan dan
santri inilah lahir dikotomi budaya yang baru, yaitu sekuler dan
religius. Oleh karena itu, Pilpres 2004 yang menggabungkan sekuler
dan religius hanyalah konsekuensi logis dari proses yang lama.
Hasilnya adalah pragmatisme religius. Dengan pergeseran ini telah membawa kaum santri masuk dalam struruktur sosial politik, perhatikan saja pada setiap partai selalu mengusung nama santri sebagai ikon partainya, hal secar pasti menuntut kemampuan santri mempunyai intelektual yang tinggi dalam melaksanakan dan mempertahankan moblitas sosial ini.
besar. Anak-anak kaum santri malahan sangat tergantung pada sekolah
dan perguruan tinggi agama negeri. Pendidikan agama dari semua
jenjang (madrasah ibtidaiyah, tsanawiyah, aliyah) negeri maupun
swasta tersedia, baik bagi abangan maupun santri. Tidak ada lagi
dikotomi budaya abangan dan santri. Dari dikotomi budaya abangan dan
santri inilah lahir dikotomi budaya yang baru, yaitu sekuler dan
religius. Oleh karena itu, Pilpres 2004 yang menggabungkan sekuler
dan religius hanyalah konsekuensi logis dari proses yang lama.
Hasilnya adalah pragmatisme religius. Dengan pergeseran ini telah membawa kaum santri masuk dalam struruktur sosial politik, perhatikan saja pada setiap partai selalu mengusung nama santri sebagai ikon partainya, hal secar pasti menuntut kemampuan santri mempunyai intelektual yang tinggi dalam melaksanakan dan mempertahankan moblitas sosial ini.
Proses
mobilitas ini juga dilalui oleh para kaum itelektual sebagai komunitas Akan
tetapi, di dalam proses ini juga ada sebuah “perpecahan di dalam proses yang
berjalan lambat ini”. Sikap kaum intelektual terhadap sosialisme, yang sudah kita
jelaskan sebagai sikap yang terasingkan yang semakin membesar dengan tumbuhnya
gerakan sosialis, dapat dan harus berubah secara pasti sebagai akibat dari
perubahan politik secara objektif yang akan menggeser perimbangan kekuatan
sosial secara radikal. Di antara gagasan-gagasan Adler, sebanyak ini yang
benar: bahwa kaum intelektual ingin mempertahankan eksploitasi kapitalis tidak
secara langsung dan tidak tanpa syarat, selama kaum intelektual secara materi
tergantung pada kelas kapitalis. Kaum intelektual bisa menyeberang ke
kolektivisme bila mereka dapat melihat kemungkinan kemenangan kolektivisme yang
segera, bila kolektivisme muncul di hadapan mereka bukan sebagai sebuah
idealisme dari kelas yang berbeda, jauh, dan asing tetapi sebagai sesuatu yang
dekat dan nyata; dan akhirnya, bila – dan ini bukan kondisi yang paling tidak
penting – perpecahan politik dengan kelas borjuis tidak mengancam setiap
pekerja-otak dengan konsekuensi materi dan moral yang menyeramkan.
Knndisi-kondisi seperti itu hanya bisa diciptakan bagi kaum intelektual Eropa
melalui kekuasaan politik sebuah kelas sosial yang baru; dan sedikit banyak
melalui sebuah periode perjuangan langusng dan segera untuk kekuasaan tersebut.
Apapun yang menjadi sebab keterasingan kaum intelektual Eropa dari rakyat
pekerja – dan keterasingan ini akan tumbuh semakin besar, terutama di
negara-negara kapitalis muda seperti Austria , Itali, dan negara-negara
Balkan – di sebuah epos rekonstruksi sosial yang hebat kaum intelektual –
mungkin lebih awal dari pada kelas-kelas intermediate lainnya –
menyeberang ke sisi pembela masyakarat yang baru. Sebuah peran yang besar akan
dimainkan oleh kualitas sosial kaum intelektual dalam koneksinya dengan ini,
yang membedakan mereka dari kelas borjuis kecil komersial dan industrial dan
kelas tani: hubungan okupasinya dengan cabang kebudayaan kerja sosial,
kapasitasnya dalam menggeneralisasi teori, fleksibilitas dan mobilitas cara
berpikirnya; pendeknya, intelektualitas mereka. Dihadapi dengan
kenyataan pemindahan seluruh aparatus masyarakat ke tangan yang baru, kaum
intelektual Eropa akan mampu meyakinkan diri mereka bahwa kondisi baru yang
tercipta ini tidak akan mencampakkan mereka ke jurang dalam tetapi justru akan
membuka peluang-peluang yang tak terbatas bagi mereka untuk mengaplikasikan
kekuatan-kekuatan teknik, organisasi, dan ilmiah; dan mereka akan bisa membawa
ke depan kekuatan-kekuatan tersebut dari barisan mereka, bahkan pada periode
awal yang sangat kritis ketika rejim yang baru harus menghadapi
kesulitan-kesulitan teknik, sosial, dan politik yang besar.
- Pendidikan dalam mobilitas sosial santri dan intelektual
Pendidikan
dalam kaitannya dengan mobilitas sosial harus mampu untuk mengubah mainstrem
pesrta didik akan realitas sosialnya. Pendidikan yang tepat untuk mengubah
paradigma ini adalah pendidikan kritis yang pernah digulirkan oleh Paulo
Freire. Sebab, pendidikan kritis mengajarkan kita selalu memperhatikan kepada
kelas-kelas yan g terdapat di dalam masyakarakat danberupaya memberi kesempatan
yang sama bagi kelas-kelas sosial tersebut untuk memperoleh pendidikan. Disini
fungsi pendidikan bukan lagi hanya sekedar usaha sadar yang berkelanjutan. Akan
tetapi sudah merupakan sebuah alat untuk melakukan peruabahan dalam masyarakat.
Pendidikan harus bisa memberikan pemahaman kepada peserta didik tentang
realitas sosial, analisa sosial dan cara melakukan mobilitas sosial.
Orang
bisa mendebat balik, dengan pendidikan seseorang bisa mengalami mobilitas
sosial. Mereka tak harus terus menjadi petani dan orang miskin jika bisa mengenyam
pendidikan. Itulah masalahnya. Di banyak negara berkembang lain mobilitas
sosial tidak selalu dimungkinkan. Di India kasta adalah salah satu hambatan
mobilitas sosial, selain banyak hambatan lain. Di negara seperti Indonesia ,
korupsi yang sudah mengakar hingga ke tingkat penerimaan pegawai bisa jadi
alasan lain mengapa mobilitas sosial relatif sulit terjadi.
Cengkeraman
kapitalisme nampaknya begitu kental dalam dunia pendidikan di Indonesia .
Didorong oleh misi untuk meningkatkan akumulasi kapital sebesar-besarnya,
lembaga pendidikan akan lebih banyak menerima pelajar-pelajar gedongan meski
memiliki IQ pas-pasan. Pelajar yang berprestasi tetapi miskin, tidak dapat
sekolah atau melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi. Mobilitas sosial
vertikal hanya akan menjadi milik orang kaya yang mampu sekolah tinggi,
meskipun secara intelektual diragukan.
Berbarengan
dengan meningkatnya gejala privatisasi pendidikan dan aspirasi atas pendidikan
yang berkualitas memang juga terjadi peningkatan kecenderungan dalam masyarakat
untuk mendirikan pendidikan yang mahal tetapi menjanjikan mutu: Buktinya
sekolah/madrasah -baik swasta maupun negeri semakin meningkat jumlahnya dalam
kurun hampir dua dasawarsa terakhir.
Jelas,
hanya terdapat segelintir kalangan masyarakat biasa disebut sebagai “kelas
menengah” – yang mampu membeli pendidikan yang mahal tersebut. Tetapi lembaga
lembaga pendidikan yang mahal itu sudah telanjur eksis di mana-mana. dan
tersebar dimana-mana dan kalangan publik yang inisk. sekalipun beranak anak mereka
ke sana . Dan
ini jelas dan perlu dihargai dan didukung.
Disinilah
terletak dilema klasik. Pendidikan merupakan akses yang sangat penting – jika
tidak satu satunya – untuk mencapai mobilitas sosial; tetapi kaum miskin tidak
dapat menjangkau akses tersebut, karena mahalnya biaya. Akhirnyal terciptalah
vicious circle (lingkaran setan); kerniskinan menciptakan keterbelakangan
pendidikan, dan sosial ekonomi, dan keterbelakangan terakhir ini menghasilkan
keterbelakangan pendidikan.
Dalam
konteks terakhir inilah kebutuhan pada filantrofi (kedermawanan) secara khusus
untuk pendidikan terasa semakin dibutuhkan dan mendesak. Jika tidak,
sekolah/madrasah yang berkualitas hanya bisa dimasuki anak anak dari keluarga
kaya. Padahal, kita juga tahu, terdapat cukup banyak anak dari kalangan miskin
yang cerdas, borbakat, rajin, mau bekerja keras dan dengan demikian, cukup
menjanjikan.
Memang tradisi filantropi untuk pendidikan bukanlah sesuatu hal baru diIndonesia . Kita
tahu sangat banyak lembaga pendidikan, seperti madrasah/sekolah, pesantren, dan
perguruan tinggi yang didirikan dan dikembangkan dengan dana filantropi.
Agaknya, hampir bisa dipastikan, lembaga lembaga pendidikan yang dibangun
dengan dana filantropi swasta dan masyarakat jauh lebih banyak, dibandingkan dana
pemerintah.
Memang tradisi filantropi untuk pendidikan bukanlah sesuatu hal baru di
Pada dasarnya kata ini mempunyai dua makna,
pertama berarti seseorang yang mencari ilmu dalam pesantren, dankedua seseorang
yang memeluk agama islam dan rajin dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Terminologi Geertz dalam the Religion of Java, kaum santri adalah kaum
yang dibedakan dengan kaum abangan dan priyayi. Kaum santri dianggap sebagai
orang yang menjalankan ajaran Islam dengan baik. Orang-orang yang termasuk
dalam terminologi santri ini tidak terbatas hanya pada orang yang menuntut ilmu
agama Islam, tetapi juga golongan ulama, termasuk di dalamnya kiai-kiai, atau
pemuka-pemuka agama Islam lainnya, yang mereka semua terlibat dalam kelembagaan
politik, baik dalam pengertian kelembagaan negara ataupun kelembagaan partai.
Sunni dalam hal ini ditujukkan dengan
kecendrungan orang untuk lebih mengunakan al_qur’an dan hadits sebagai sumber
utama, daripad penggunaan rasio-akal untuk mematahkan otoritas nash.
Max Adler (1873-1937) adalah seorang kaum
intelektual, politisi, dan ahli filosofi dari Austria . Dia adalah perwakilan dari
garis pemikiran Austromarxisme.
Arti Definisi/Pengertian Status Sosial & Kelas Sosial - Stratifikasi/Diferensiasi Dalam Masyarakat
Sun, 05/10/2008 - 12:26am — godam64
Dalam lingkungan masyarakat kita melihat bahwa ada pembeda-bedaan yang
berlaku dan diterima secara luas oleh masyarakat. Di sekitar kita ada orang
yang menempati jabatan tinggi seperti gubernur dan wali Perbedaan itu tidak hanya muncul dari sisi jabatan tanggung jawab sosial saja, namun juga terjadi akibat perbedaan ciri fisik, keyakinan dan lain-lain. Perbedaan ras, suku, agama, pendidikan, jenis kelamin, usia atau umur, kemampuan, tinggi badan, cakep jelek, dan lain sebagainya juga membedakan manusia yang satu dengan yang lain.
Beragamnya orang yang ada di suatu lingkungan akan memunculkan stratifikasi sosial (pengkelas-kelasan) atau diferensiasi sosial (pembeda-bedaan).
Arti Definisi / Pengertian Status Sosial :
Status sosial adalah sekumpulan hak dan kewajian yang dimiliki seseorang dalam masyarakatnya (menurut Ralph Linton). Orang yang memiliki status sosial yang tinggi akan ditempatkan lebih tinggi dalam struktur masyarakat dibandingkan dengan orang yang status sosialnya rendah.
Arti Definisi / Pengertian Kelas Sosial :
Kelas sosial adalah stratifikasi sosial menurut ekonomi (menurut Barger). Ekonomi dalam hal ini cukup luas yaitu meliputi juga sisi pendidikan dan pekerjaan karena pendidikan dan pekerjaan seseorang pada zaman sekarang sangat mempengaruhi kekayaan / perekonomian individu.
Arti Definisi / Pengertian Stratifikasi Sosial :
Stratifikasi sosial adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian masyarakat secara vertikal atau atas bawah. Contohnya seperti struktur organisasi perusahaan di mana direktur berada pada strata / tingkatan yang jauh lebih tinggi daripada struktur mandor atau supervisor di perusahaan tersebut.
Arti Definisi / Pengertian Diferensiasi Sosial :
Diferensiasi sosial adalah pengkelasan / penggolongan / pembagian masyarakat secara horisontal atau sejajar. Contohnya seperti pembedaan agama di mana orang yang beragama islam tingkatannya sama dengan pemeluk agama lain seperti agama konghucu, budha, hindu, katolik dan kristen protestan.
Artikel Terkait :
Sosiologi Agama
Dalam sosiologi, agama dikaji sebagai suatu fakta sosial. Munculnya sosiologi agama di akhir abad 19 sebagai disiplin baru dari sosiologi adalah untuk melihat agama sebagai situs pengetahuan yang dikaji dari sudut pandang sosiologis. Sosiologi agama tidak hendak melihat bagaimana seseorang beragama, akan tetapi untuk memotret kehidupan beragama secara kolektif yang difokuskan kepada peran agama dalam mengembangkan atau menghambat eksistensi sebuah peradaban suatu masyarakt. Dan sejarah peradaban kemanusiaan selama berabad-abad memang tidak pernah sepi dari hiruk pikuk aktualisasi agama dan kepercayaan –dengan berbagai definisinya- yang khas dan diwujudkan dalam perilaku keseharian masyarakat.Seorang sosilog terkemuka asal Perancis, Emile Durkheim, dalam Muhni (1994) mendefinisikan agama sebagai : Religion is an interdependent whole composed of beliefs and rites related to sacred things, unites adherents in a single community known as a Church (satu sistem yang terkait anatar kepercayaan dan praktek ritual yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus, yang mampu menyatukan pengukutnya menjadi satu kesatuan masyarakat dalam satu norma keagamaan). Dari pengertian ini agama bisa dimaknai sebagai pembentuk formasi sosial yang menumbuhkan kolektifisme dalam satu komunitas masyarakat. Kesimpulan umum ini menjadi pijakan bagi para sosiolog agama dalam menjelaskan dimensi sosial agama dimana kekuatan kolektivisme agama dianggap telah mampu menyatukan banyak perbedaan antar individu dan golongan diantara pemeluknya. Di sini agama bisa dianggap mampu berperan dalam transformasi sosial menuju masyarakat yang membangun masyarakat secara kolektif.
Berbeda dengan pandangan di atas, Karl Marx memiliki pendapat yang agak sinis terhadap agama. Menurutnya agama tak lebih dari doktrin metafisik yang tidak material, dan hanya menitikberatkan pada orientasi pasca-kematian. Hal ini menurutnya agama telah dijadikan alat untuk membangun ”kesadaranpalsu” untuk mengalihan perhatian pemeluknya atas penderitaan nyata dan kesulitan dalam kehidupan mereka. Dalam memperkenalkan filsafat materialisme historisnya dalam kajian ideologi, Marx menjelaskan bahwa agama adalah imajinasi; atau lebih tepatnya khayalan yang melenakan. Agama menjadi suatu doktrin kepercayaan yang kerap digunakan sebagai alat legitimasi untuk mempertahankan hal-hal yang ada di dalam masyarakat sesuai dengan kepentingan para penindas.
Kritik Marx atas agama ini adalah refleksi dalam konteks zamannya dimana kekuatan agamawan pada waktu itu nyatanya tidak mampu menjadi penggerak atas struktur kapitalisme yang menindas masyarakat kelas bawah. Marx menyatakan agama mendukung dan melayani kepentingan tertentu yang terkait dengan dominasi kelas dan penundukan kelas Dia menyebutkan bahwa agama dari sudut sosialitasnya adalah rengekan golongan masyarakat yang tertindas. Agama tidak mamu menjadi alat perubahan dan perlawanan masyarakat miskin yang tertindas.
http://puspek-averroes.org/2009/07/26/agama-dan-transformasi-sosial/
Bab I
Pandangan Sosiologis Tentang Agama
Karena luas dan
keanekaragaman pokok bahasannya, maka bidang agama merupakan sesuatu yang sulit
untuk diukur dengan menggunakan penilaian sosiologi. Bagi kebanyakan di antara
kita, perhatian utama terhadap agama bersifat perorangan dan individualistik.
Dalam mengkaji agama tersebut kita cenderung memusatkan pada aspek-aspek etik
dan kepercayaan yang lebih bersifat intelektual dan emosional.
William James,
dalam definisinya tentang agama, membuang aspek-aspek agama yang bersifat
universal, sosial dan institusional. James tertarik kepada agama sebagai fungsi
universal masyarakat di mana saja mereka temukan. Perhatiannya adalah kepada
agama sebagai salah-satu aspek dari tingkah laku kelompok dan kepada peranan
yang dimainkannya selama berabad-abad hingga sekarang dalam mengembangkan dan
menghambat kelangsungan hidup kelompok-kelompok masyarkat.
Orang pertama
yang mendahului bahwa tidak ada definisi (agama) yang benar-benar memuaskan.
Karena satu hal, agama dalam keanekaragamannya yang hampir tidak dapat
dibayangkan itu memerlukan deskripsi (penggambaran) dan bukan definisi
(batasan). Agama senantiasa dipakai untuk menanamkan keyakinan baru ke dalam
hati sanubari terhadap alam gaib dan surga-surga telah didirikan di alam
tersebut. Namun demikian agama juga berfungsi melepaskan belenggu-belenggu adat
atau kepercayaan manusia yang sudah usang.
Agama memberi
lambang-lambang kepada manusia. Dengan lambang-lambang tersebut mereka dapat
mengungkapkan hal-hal yang susah diungkapkan, meskipun hakikat pengalaman
keagamaan selamanya tidak dapat diungkapkan.
Penulis-penulis
terdahulu seperti Tylor dan Spencer menganggap agama sebagai suatu hasil
pemikiran manusia dan hasratnya untuk mengetahui. Durkheim, dan belakangan juga
freud, mengemukakan landasan-landasan agama yang bersifat naluriah dan
emosional. Semua yang dijelaskan tentang agama, bahwa agama itu merupakan
produk kebudayaan, atau pengembangan dari aktivitas manusia sebagai makhluk
pencipta kebudayaan.
Salah satu hal
yang terpenting dalam agama pada masyarkat adalah ia harus percaya terhadap hal
yang sakral, walaupun ini berkaitan dengan hal-hal yang penuh misteri baik yang
sangat mengagumkan ataupun sangat menakutkan. Dalam semua masyarakat yang
dikenal terdapat perbedaan antara yang suci dengan yang biasa atau, sering kita
katakan, antara yang sakral dan yang sekuler atau duniawi (the sacred and the
secular or the profane).
Ciri umum apakah
yang kita temukan dalam berbagai benda dan wujud sakral yang hampir tidak
terbatas ini, yang bisa disebut sakral? Apabila kita memperhatikan benda-benda
dan wujud-wujudnya saja kita akan menemukan jawaban. Menurut emile durkheim,
bukan benda-benda itu sendiri yang merupakan tanda dari yang sakral, tetapi
justeru berbagai sikap dan perasaan yang memperkuat kesakralan benda-benda itu.
Dengan demikian kesakralan terwujud karena sikap mental yang didukung oleh
perasaan.
Berkaitan erat
dengan yang sakral, atau suci, adalah yang tidak suci; yang mencakup apa saja
yang dianggap mencemarkan yang suci itu. Untuk menghindari kemungkinan
timbulnya pencemaran inilah hal-hal yang sakral di pagari dengan
larangan-larangan atau tabu-tabu.
Bab II
Fungsi-Fungsi Agama Dalam Masyarakat
Istilah fungsi,
menunjuk kepada sumbangan yang diberikan agama, atau lembaga sosial yang lain,
untuk mempertahankan masyarakat sebagai usaha-usaha yang aktif dan berjalan
terus-menerus.
Tujuan yang
diharapkan untuk meningkatkan kesempatan mencapai kebahagiaan Nirwana (surga),
sedangkan yang diharapkan orang metodis dengan perbuatannya itu adalah untuk
menyalurkan kebahagiaannya karena yakin bahwa dia diselamtkan karena rahmat
Tuhan dari dosa-dosanya. Tujuan-tujuan lain yang diakui oleh para anggota
berbagai kelompok keagamaan itu berkaitan dengan kehidupan di dunia lain, masuk
surga dan terhindar dari neraka, meringankan (beban) arwah di tempat penyucian
dosa, dan memperoleh jaminan untuk berpindah ketingkat kehidupan yang paling
tinggi. Meskipun demikian para penganut agama lainnya mungkin mengatakan bahwa
tujuan mereka adalah mengharmoniskan jiwa mereka dengan alam semesta,
mengagungkan Tuhan dan melaksanakan kehendak-nya secara sempurna, atau dengan
sembahyang, berdoa mereka membujuk dewa-dewa agar berkenan memberikan rahmat kepada
umat manusia.
Tanpa adanya
maksud-maksud yang disadari semacam itu, sangat boleh jadi tingkah-laku
keagamaan tidak akan dilaksanakan. Akibat-akibat yang tidak disengaja dari
tingkah-laku mereka seringkali lebih penting bagi pemeliharaan masyarakat daripada
tujuan-tujuan mereka yang disadari. Maksud dari itu semua fungsi-fungsi yang
tidak disengaja yang dilaksanakan oleh suatu bentuk tingkah-laku institusional
tertentu kadang-kadang dinyatakan oleh sarjana sosiologi sebagai fungsi latent
(tersembunyi); sedangkan fungsi yang disengaja, tujuan-tujuan yang resmi
dari lembaga tersebut disebut fungsi manifest (nyata).
Sumbangan agama
terhadap pemeliharaan masyarakat. Pertama, masyarakat mempunyai
kebutuhan-kebutuhan tertentu untuk kelangsungan hidup dan pemeliharaannya
sampai batas minimal, dan kedua, agama berfungsi memenuhi sebagian di antara
kebutuhan-kebutuhan itu, meskipun mungkin terdapat beberapa kontradiksi dan
ketidakcocokan dalam cara memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Oleh karena itu
beberapa jenis persetujuan bersama, atau konsesnsus, mengenai wujud
kewajiban-kewajiban yang sangat penting ini, begitu juga mengenai adanya
kekuatan yang mampu memaksa orang-orang dan pihak-pihak yang bersangkutan untuk
melaksanakan kewajiban-kewajiban tersebut, minimal diperlukan untuk
mempertahankan ketertiban masyarakat.
Pada umumnya
sesuai dengan nilai-nilai sosial. Bahwasanya masyarakat sedikit banyak
ditemukannya konsep-konsep yang jelas mengenai tingkah-laku yang diakui sesuai
standar tingkah-laku itu. Yang membentuk nilai-nilai sosial ini, sering disebut
oleh sarjana-sarjana sosiologi sebagai norma-norma sosial.
Karya Durkheim
di bandingkan dengan karya-karya para sarjana sosiologi lainnya lebih banyak
mengungkapkan hakikat antaraksi antara nilai-nilai sosial dan norma-norma yang
berkaitan dengan kewajiban sosial dan kewajiban moral oleh sebagian besar
anggota masyarakat.
Dengan demikian
nilai-nilai keagamaan merupakan landasan bagi sebagian besar sistem nilai-nilai
sosial, maka pelajaran-pelajaran yang paling penting bagi anak-anak adalah
dalam lapangan yang sekarang sering kita sebut pendidikan agama (religious
education). Dari sebagian hal lain itu orang yang gagal menurut ukuran dunia
sekuler, karena penghayatannya terhadap nilai-nilai keagamaan, boleh jadi dapat
menerima dan menjelaskan secara lebih baik kepada dirinya sendiri
kekurangberhasilannya di dunia ini tanpa harus mengalami kehancuran
kepribadian. Maka harus ada
kerja keras dan usaha yang mendorong dari semua itu.
Bab III
Tipe-Tipe Masyarakat dan Agama
Di dalam seluruh
masyarakat, sebagaimana telah diuraikan, orang yang membedakan antara
masalah-masalah yang sakral dan yang sekuler. Ada tiga tipe masyarakat. Tipe
pertama adalah masyarakat dimana nilai-nilai yang sakral kuat sekali.
Masyarakat yang kecil, terisolasi dan terbelakang. Tingkat perkembangan teknik
mereka rendah dan pembagian kerja atau pembidangan kelas-kelas sosial mereka
relatif masih kecil. Keluarga adalah lembaga mereka yang paling penting dan
spesialisasi pengorganisasian kehidupan pemerintahan dan ekonomi masih amat
sederhana.
Penganut agama
yang sama; oleh karena itu keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang
lain, baik yang bersifat ekonomis, politik, kekeluargaan maupun rekreatif.
Tipe masyarakat
ini cukup kecil jumlah anggotanya k`rena sebagian besar adat-istiadatnya
dikenal. Masyarakat ini berpendapat bahwa pertama, agama memasukkan pengaruhnya
yang sakral ke dalam sistem nilai masyarakat secara mutlak; kedua dalam keadaan
lembaga lain selain keluarga, relatif belum berkembang, agama jelas menjadi
fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara
keseluruhan.
Tipe kedua
mencerminkan sejenis lingkungan di antara dua tipe lain tersebut. Tipe kedua
ini tidak begitu terisolasi, berubah lebih cepat, lebih luas daerahnya dan
lebih besar jumlah penduduknya, tingkat perkembangan teknologi yang lebih
tinggi daripada masyarakat-masyarakat tipe pertama. Ciri-ciri umumnya adalah
pembagian kerja yang luas, kelas-kelas sosial yang beraneka ragam, pertanian
dan industri tangan, beberapa pusat perdagangan kota. Batas-batas yang lebih
tegas dapat diketahui kapan orang-orang pergi berkerja, bermain, atau pergi
bersembahyang daripada, misalnya di kalangan penduduk (pulau) Trobriand.
Agama tentu saja
memberikan arti dan ikatan kepada sistem nilai dalam tipe masyarakat ini, akan
tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sakral dan yang sekuler itu sedikit
banyaknya masih dapat dibedakan.
Tipe ketiga adalah
masyarakat di mana nilai-nilai sekuler sangat berpengaruh. Deskripsi di bawah
ini jelas agak condong kepada masyarakat perkotaan modern di Amerika Serikat.
Akan tetapi yang disebut terakhir ini, karena tingginya tingkat sekularismenya,
bisa dianggap sebagai salah-satu contoh yang apling mirip dengan masyarakat
tipe ketiga ini.
Dalam tipe
masyarakt ketiga ini karena sekuler di bidang ekonomi bisa juga mengambil warna
sakral yang semu. Di dalam banyak deskripsi yang populer mengenai tatanan
ekonomi pada masyarakat modern tampak bahwa seringkali kata uang dapat
diganti dengan moral, tanpa terfikir apakah ini merupakan kesalahan
cetak atau kesalahan tulisan.
Tingkah-laku
sejumlah orang dalam masyarakat industri yang relatif modern dibentuk
semata-mata, atau bahkan terutama, sesuai dengan nilai-nilai keagamaan.
Kelemahan nilai keagamaan sebagai suatu fokus pengintegrasian, tentu saja,
antara lain di sebabkan oleh keanekaragaman sistem nilai dari berbagai
organisasi keagamaan yang seringkali berusaha mendaptkan kesetiaan setiap
individu anggotanya.
Eksistensi
sub-sub masyrakat yang lebih kecil di dalam masyarakat kita yang lebih luas ini
dengan konsepsi mereka yang berbeda-beda tentang peranan agama menimbulkan
konflik-konflik dan ketidaksesuaian baik dalam tatanan sosial maupun dalam
kepribadian mereka.
Bab IV
Agama dan Ketegangan Manusia
Di kalangan
semua masyarakat terdapat masa-masa di mana segala sesuatu berjalan lancar,
kewajiban-kewajiban sosial berjalan normal, dan pria-wanita melaksanakan
peranan sosial mereka dengan cukup aman sehingga teman-teman mereka akan
melaksanakan hal yang sama pula. Bahwa mereka dapat saling mempercayai satu
sama lain, dan mereka tahu sebagian besar dari apa yang dapat mereka harapkan
di dunia natural maupun dunia sosial.
Pada saat-saat
kebanyakan masyarakat di mana orang melakukan pekerjaan tanpa ketegangan yang
berarti dan alat-alat yang tersedia pada mereka cukup untuk mencapai tujuan
yang didambakan, tapi kenyataannya tidak selalu demikian.
Akan tetapi kita
mengetahui bahwa tragedi dan ketegangan itu merupakan sifat dasar dari situasi
manusia. Baik itu besar atau kecil, dalam semua tipe masyarakt antara
harapan-harapan yang dilandasi oleh sikap budaya mereka dan tercapainya
harapan-harapan tersebut. Oleh karena itu cara ilmiah yang praktis,
bagaimanapun tinggi perkembangannya, tidak pernah cukup untuk memenuhi situasi
manusia. Maka adapula yang menggunakan cara ilmiah modern kemungkinan
antisipasi dari terciptanya teknologi yang pesat, secara tidak langsung telah
mendorong terciptanya aura-aura baru yang tidak dapat di kuasai.
Demikian pula
dari satu segi, agama dapat dianggap-meskipun sama sekali tidak berarti bahwa
ini adalah gambaran yang tuntas-sebagai salah-satu cara yang paling pengting
bagi manusia untuk menyesuaikan diri dengan situasi-situasi yang penuh
ketegangan itu. Situasi-situasi ketegangan dapat dibagi dalam dua kategori
utama. Kategori pertama mencakup situasi-situasi di mana individu atau
kelompok-kelompok dihadapkan dengan hilangnya orang-orang lain yang penting
bagi mereka. Lalu dengan kategori kedua, yang penting adalah situasi-situasi di
mana kekuatan-kekuatan alam yang sebagian besar tidak dapat dikuasai dan
diramalkan bisa membahayakan kebutuhan vital masyarakat yaitu persediaan
makanan dan kesehatan.
Kematian selain
tidak dapat diramalkan juga berada di luar kekuasaan manusia. Meskipun kita
semua mengetahui bahwa kita pasti akan mati, namun hampir tak seorang pun
mengetahui kapan kematian itu akan terjadi. Tak seorang pun, selain barangkali
orang yang bunuh diri, dapat merencanakan kematiannya, apalagi mengaturnya.
Antara lain karena ketidakpastian inilah kita menemukan interpretasi-
interpretasi keagamaan tentang kemtian dalam setiap masyarakat.
Seorang sarjana
sosiologi mengira apabila dalam masyarakat kematian yang belum waktunya sudah
tidak ada lagi, melalui penerapan ahli seperti dokter dan usaha-usaha untuk
menghindar dari terjadinya kecelakaan- kecelakaan, sehingga setiap orang dapat
mengharapkan hidup sampai umur 70 tahun, sebagian peranan yang sekarang
dimainkan agama dalam urusan- urusan kemanusiaan barangkali akan berubah secara
mendasar.
Agama sering
dilibatkan terhadap penyesuaian diri dalam berbagai hal seperti istilah magi
dalam menguasai yang gaib pada praktik-praktik keagamaan yang semu. Dan agama
dilirik oleh sains yang memberi manusia cara-cara empirik dan praktis untuk
menyesuaikan diri dengan situasi tersebut. Yang pada akhirnya magi, sains dan
agama memberikan tipe-tipe masyrakat yang bermacam-macam. Akan tetapi unsur
penyesuaian diri tersebut sama sekali tidak berasal dari lingkungan yang sama.
Walaupun memiliki penyerapan dan penafsiran yang berbeda.
Tujuan-tujuan
agama terarah kepada hal-hal yang nonempirik, atau dunia lain yang gaib
(adikodrati). Meskipun agama seringkali berkaitan dengan kesejahteraan jasmani
dan sosial umat manusia, namun agama selalu mempunyai titik acuan yang
transendental.
Bab V
Agama, Masalah Makna dan Masyarakat
Setiap
masyarakat yang telah mampu mempertahankan dirinya dalam jangka waktu lama di
tengah-tengah peperangan-peperangan dan kemelut-kemelut yang terjadi
berbarengan dengan kehidupan berkelompok mereka, telah mampu mengembangkan
sejumlah interpretasi moral terhadap pandangan hidupnya sendiri, sebagai
penjelasan tentang persoalan makna kemasyarakatan. Pada kenyataanya
juga sama pentingnya adalah bahwa sampai sekarang tak ada sekelompok orangpun
yang mampu memberikan penjelasan tentang makna sistem sosialnya yang mengikat
erat secara moral itu, tanpa memasukkan beberapa unsur, betapa kecilnya, di
luar makna umum yang empirik.
Pertimbangan-Pertimbangan
tersebut di atas memberikan konteks umum dengan peranan agama dalam memberikan
penafsiran-penafsiran secara moral tentang sejarah umat manusia dan
aturan-aturan sosial.
Salah-satu
diantara perhatian utama sarjana sosiologi adalah makna yang diberikan oleh
agama-agama tertentu mengenai perbedaan-perbedaan posisi dan harga diri
kelas-kelas sosial yang beraneka ragam. Dan mengulas interpretasi-interpretasi
keagamaan mengenai sistem-sistem stratifikasi sosial.
Bagaimanapun
juga pengkajian sosiologis selayaknya kita terapkan pada tempatnya. Di antara
pada pengkaji boleh jadi ada yang setuju dengan pemikiran Marxis yang
menganggap segala macam interpretasi keagamaan merupakan sekedar
rasionalisasi-rasionalisasi, atau bahkan ada yang patuh juga kepada agama
tertentu dan juga yang munafik, tetapi memenuhi keinginan-keinginan dari
kelas-kelas yang sedang berkuasa.
Oleh karena itu
pembahasan di bawah ini sama sekali tidak dimaksudkan untuk memisahkan atau
menyendirikan faktor-faktor material dan ekonomi di satu pihak dan
faktor-faktor keagamaan dan spiritual di lain pihak.
Sistem-sistem
kelas memberikan status yang berbeda-beda dan tidak sama kepada anggota-anggota
suatu masyarakat. Akibat dari ketidaksamaan sosial tersebut kadang-kadang tidak
hanya sangat tajam tetapi juga diperlakukan secara ketat. Situasi ini lagi-lagi
menimbulkan masalah penafsiran terhadap sistem sosial dalam pengertian moral
dan yang bermakna.
Sistem
kelas-kelas atau tingkat-tingkat sosial di Eropa pada abad pertengahan dalam
hal-hal yang penting berbeda dengan sistem kasta dalam agama Hindu. Metode yang
digunakan oleh pandangan keagamaan untuk memberi makna moral kepada sistem
kelas di abad pertengahan tersebut juga berbeda. Dengan demikian sistem pada abad
pertengahan tersebut menghidupkan terus ketidaksamaan-ketidaksamaan yang besar
memerlukan interpretasi secara moral.
St. Augustine,
yang bukunya City of God paling jelas mengungkapkan konsepsi tujuan
ini, menjelaskan bahwa pembenaran moral dari umat adalah untuk mempertahankan
kondisi-kondisi semacam itu sehingga orang-orang kristen dapat menjalankan
kehidupan duniawi mereka untuk menyelamatkan jiwa-jiwa mereka yang abadi.
Selain itu Lembaga-lembaga ekonomi, begitu juga sistem-sistem kelas yang berkaitan,
memerlukan interpretasi moral. Pemerataan kekayaan dan cara-cara memperolehnya
bisa menimbulkan perasaan-perasaan ketidakadilan dan ketidaksamaan. Di dalam
masyarakat-masyarakat ini berbagai ketidakadilan dan ketidaksamaan nasib
individu-individu dan negara-negara dengan berbagai bentuknya adalah jelas.
Akan tetapi interpretasi-interpretasi sekuler terhadap makna tatanan sosial itu
timbul bersama-sama dengan timbulnya interpretasi-interpretasi keagamaan. Oleh
karena itu nasionalisme, komunisme dan mungkin demokrasi itu sendiri bisa
menjadi agama-agama semu, yang merupakan tandingan agama spritual tradisional.
Bab VI
Organisasi Keagamaan
Semua organisasi
sosial yang dimaksudkan untuk membentuk tingkah-laku manusia sesuai dengan pola
yang ditentukan, baik pola yang ditetapkan oleh doktrin agama, ajaran etik
maupun oleh filsafat politik, pasti menghadapi suatu dilema. Jika organisasi
tersebut ingin berhasil dalam memperdaya masyarakat sesuai dengan arah
tujuannya masing-masing, maka organisasi tersebut harus berhasil dalam dua
sektor.
Di satu pihak
organisasi tersebut harus menertibkan kebiasaan-kebiasaan para anggotanya
sesuai dengan cita-cita yang ingin dicapai. Di lain pihak, apabila organisasi
itu juga ingin mempengaruhi masyarakat yang lebih luas, mereka jelas harus
mengembangkan organisasi dan memperbesar pengaruhnya yang potensial dengan cara
memasukkan orang-orang yang mempunyai kedudukan dan kekuasaan di luar
lingkungan mereka. Kedua persyaratan ini ibarat buah simalakama, karena
keberhasilan pada salah-satu sektor saja biasanya menimbulkan bahaya pada
sektor lainnya.
Oleh karena itu
organisasi keagamaan dihadapkan kepada salah-satu di antara dua pilihan:
melestarikan kemurnian etik dan spiritualnya dengan risiko lingkungan pengaruh
sosialnya terbatas, atau jika organisasi tersebut ingin berpengaruh kuat dalam
masyarakat tertentu, mungkin risikonya adalah mengorbankan semua atau sebagian
dari cita-cita uatamanya sendiri.
Dilema pokok
dalam organisasi keagamaan bisa dilihat lebih jelas apabila kita mengkaji
salah-satu di antara manifestasi-manifestasinya yang penting, yaitu gerakan
keagamaan. Gerakan keagamaan di sini berarti setiap usaha yang terorganisasi
untuk menyebarkan agama baru atau interpretasi baru mengenai suatu agama yang
sudah ada. Gerakan-gerakan semacam itu pada umumnya melalui serangkaian tahap
yang relatif teratur baik dan setelah fase-fase pengembangan yang pertama
gerakan-gerakan tersebut biasanya jadi mantap hubungannya dengan agama-agama
lain. Fase-fase yang lebih tenang dari gerakan-gerakan keagamaan semacam itu
bisa menjadi sumber timbulnya gerakan-gerakan keagamaan berikutnya.
Fase pertama,
suatu gerakan keagamaan dipengaruhi oleh kepribadian pendirinya. Pada fase
kedua, gerakan tersebut para pengganti si pendiri dipaksa untuk memecahkan dan
menjelaskan masalah-masalah penting mengenai organisasi, kepercayaan, dan ritus
yang dibiarkan tidak terurus selama si pendiri masih hidup. Pada tahap ini
gerakan tersebut secara khas menjadi apa yang sekarang kita sebut dengan sebuah
gereja : yaitu organisasi formal dari suatu kelompok pemeluk yang
mempunyai kesamaan dalam kepercayaan-kepercayaan dan ritus-ritus bersama yang
tetap terhadap benda-benda dan wujud-wujud sakral yang mereka sembah.
Sebaliknya,
sekte, pada umumnya merupakan kelompok kecil yang eksklusif, dan yang
anggota-anggotanya bergabung secara sukarela, biasanya orang-orang dewasa. Sekte-sekte terdiri dari dua jenis pokok:
yaitu sekte-sekte yang menarik diri dan sekte-sekte yang militan.
Denominasi (denomination) adalah kelompok yang
relatif stabil, sering ukuran dan kompleksitasnya besar, yang mendapatkan
anggota-anggotanya sebagian besar karena merasa berhak. Sedangkan Cult adalah
suatu tipe kelompok keagamaan kecil yang dalam beberapa hal sama dengan sekte,
meskipun keanggotaannya berbeda. Terkadang kepemimpinan cult bersifat
kharismatik, informal, tidak tentu dan dipengaruhi oleh kondisi-kondisi kota
metropolitan yang relatif tidak dikenal bahkan kadang-kadang korup juga.
Kepercayaan-kepercayaan cult sering menekankan salah-satu aspek tertentu dari
ajaran Kristen. Meskipun tipe-tipe organisasi-organisasi keagamaan yang
beraneka-ragam itu mungkin bisa hidup bersama dalam satu masyarakat, walaupun
ada beberapa masyarakat yang sesuai ataupun tidak.
Bab VII
Agama Dalam Masyarakat Amerika
Pembahasan
disebutkan bermacam-macam ilustrasi yang diambil dari suasana Amerika. Tapi
sejauh ini telah dibicarakan fungsi-fungsi, organisasi dan perubahan-perubahan
pada sistem-sistem keagamaan dalam kerangka sosial dan historis yang lebih
luas. Generalisasi sosiologis memerlukan prosedur ini-maksudnya, memerlukan
pengkajian bermacam-macam masyarakat, kebudayaan dan agama. Nilai-nilai bangsa
Amerika modern barangkali tidak begitu tampak berkaitan dengan agama.
Aktivisme,
universalisme dan individualisme–tiga buah contoh aliran yang sangat
mengesankan—boleh jadi paling tepat untuk dikemukakan sebagai contoh kecil dari
nilai-nilai keagamaan yang melanda kehidupan bangsa Amerika.
Tipe organisasi
keagamaan yang telah berkembang di Amerika Serikat, pada umumnya cocok dengan
demoraksi politik dan industri kita. Kecocokan ini antara lain karena adanya
dua unsur yang berhubungan dari lingkungan keagamaan di Amerika, kedua-duanya
timbul sejak masa-masa pertama republik tersebut.
Situasi ini
telah menimbulkan akibat-akibat besar, yang positif dan memungkinkan, bagi
perkembangan demokrasi liberal. Gereja-gereja di Amerika terbuka terhadap
masuknya pengaruh-pengaruh kuat dari sekulerisasi. Amerika Serikat sangat
berbeda dengan Inggris, sebagai contoh, bahwa di sana suatu bentuk ecclesia
baru sekurang-kurangnya mampu memanfaatkan kekuasaan pemerintahan dalam
bidang-bidang pendidikan, rekreaksi, moral dan penyantunan.
Suatu sistem
organisasi keagamaan yang majemuk serta pemisahan yang tegas antara gereja dan
negara memperlemah kedudukan agama pada lembaga-lembaga kemasyarakatan yang
lain. Mengenai organisasi keagamaan yang merefleksikan dan bukannya memberi
warna kepada masyarakat Amerika tergambar dalam kesejajaran antara
pembagian-pembagian kelas sosial dan berbagai denominasi yang ada.
Tingkatan sosial
denominasi-denominasi keagamaan tersebut memang diakui sesuai dengan sistem
kelas bangsa Amerika yang bersifat terbuka.
Perpindahan
besar-besaran yang terjadi pada dasawarsa terakhir abad ke-19 dan awal abad
ke-20 membawa masuk sejumlah besar masyarakat petani dari Eropa bagian selatan
dan timur ke kota-kota kita yang telah padat, termasuk di antara mereka adalah
orang-orang yang menganut agama-agama Katolik Romawi, Ortodoks Yunani dan juga
agama Yahudi.
Secara organisatoris,
beberapa di antara gereja-gereja ini sangat berbeda dengan aliran gereja
Protestan di Amerika, suatu kenyataan yang kadang-kadang bisa menimbulkan
ketegangan-ketegangan di bidang politik maupun keagamaan.
Namun demikian
pada sisi positifnya, ketegangan-ketegangan dan ketidakserasian-ketidakserasian
dalam struktur sosial tersebut bisa dianggap sebagai
dorongan untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian secara kreatif yang
kemungkinan timbulnya banyak variasi dalam struktur sosial tersebut.
Terdapat bukti
bahwa sampai batas tertentu hal ini telah terjadi di Amerika Serikat dan bahwa
upaya secara terus-menerus untuk menciptakan kesatuan dalam keanekaragaman dan
ketertiban dengan kebebasan sangat mendukung bagi suatu eksperimentasi yang
bermanfaat baik di bidang sosial maupun politik.
Cilangkap.,
30 Oktober 2008
http://aadany-khan.blogspot.com/2009/07/agama-dan-masyarakat.html
Konflik, Dilema Umat Islam
16-April-2007
Akhir-akhir ini hampir tiada hari tanpa
berita yang terkait dengan teror dan bom bunuh diri, khususnya di negara
berpenduduk mayoritas Muslim. Realitas itu menguatkan asumsi Barat bahwa Islam
adalah agama teror dan kekerasan. Di tengah merebaknya aksi kekerasan dan
konflik di negeri-negeri Muslim, mayoritas umat Islam berada dalam kemiskinan
dan keterbelakang. Kini, konflik, kemiskinan, dan keterbelakangan menjadi
persoalan utama umat Islam hampir di seluruh negara. Di letak Islam sebagai
”agama yang unggul” ketika realitas umat seperti itu? Berikut perbincangan
Reporter CMM David K. Alka dengan Bambang Pranowo, Guru Besar Sosiologi Agama
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan juga Staf Ahli Menteri Pertahanan dan Bagaimana Anda melihat perkembangan konflik di Timur Tengah saat ini?
Di sini kita melihat dilema paling besar: di Irak, orang Sunni menghadapi dilema yang sulit. Membantu Sunni artinya membantu pemberontak dan melemahkan AS. Sedang membiarkan Syiah berkuasa, orang-orang Sunni menjadi bulan-bulanan pembantaian orang Syiah. Di pihak lain,
Melihat persoalan tersebut, jelas amat ruwet dan kompleks. Dua mazhab besar Sunni dan Syiah saling berhadapan di satu sisi; sementara di sisi yang lain, negara-negara Arab dan
Islam itu tinggi dan tidak ada yang mengungguli ketinggian Islam (al-Islaamu ya’lu walaa yu’la ‘alaih). Jika dikaitkan dengan kehidupan umat sekarang, bagaimana makna hadis itu?
Jika kita melihat realitas kehidupan umat di negeri-negeri Muslim kemudian dibandingkan dengan kondisi kehidupan di negeri-negeri non-Muslim tampak jelas kondisi umat Islam yang jauh dari posisi ‘unggul’ tersebut. Di berbagai belahan dunia ada beberapa ciri umat Islam yang khas. Pertama miskin, kedua terbelakang (untuk tidak mengatakan bodoh) dan ketiga diliputi ketidak-adilan. Yang terakhir inilah yang sering memicu konflik internal di negara-negara Islam sehingga mengakibatkan banyak pemerintahan Islam bersikap totaliter. Oleh sebab itu beberapa negara di Timur Tengah justru dikenal sebagai negara-negara yang tidak mengedepankan keadilan dalam pemerintahannya.
Mengapa negara-negara yang berpenduduk mayoritas Muslim dilanda kemiskinan?
Ini pun satu persoalan yang sulit dipecahkan. Padahal kenyataannya, 75 persen sumber minyak bumi dunia berada di “perut” negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tapi nasib penduduk umat Islam sendiri amat memprihatinkan. Salah satu penyebabnya adalah tidak terdistribusikannya kekayaan negara terhadap penduduk secara adil. Tidak adanya transparansi dan sistem pemerintahannya yang tidak demokratis menjadikan kekayaan negara hanya dinikmati kelompok elit tertentu.
Dari data-data yang Anda peroleh, sejauhmana kaitannya dengan hal tersebut?
Freedom in the World 2000: The Democracy Gap, mengungkapkan dari 192 negara yang ada di dunia saat ini, 121 di antaranya sudah berpemerintahan demokratis. Sedangkan di negara-negara yang mayoritas penduduknya Muslim, yang jumlahnya 47 negara, hanya 11 yang pemerintahannya demokratis. Ini berarti hanya 23% negara-negara Islam yang pemerintahannya transparan dan akuntabel. Sementara dari 145 negara-negara bukan Muslim, 110 (76%) pemerintahanya sudah demokratis. Gambaran ini menunjukkan bahwa di dunia non-Islam prosentase negara-negara yang demokratis tiga kali lipat lebih banyak dibanding di dunia Islam. Gambaran ini cukup menunjukkan kredibilitas dan akuntabilitas negara Islam terhadap rakyatnya. Ini pasti mempunyai dampak lanjutan, yaitu pada pemerataan kesejahteraan dan pendidikan rakyatnya.
Apa jaminan dari sebuah pemerintahan yang demokratis bagi umat Islam?
Pemerintahan demokratis memang bukan satu-satunya alat ukur untuk mengetahui kredibilitas dan akuntabilitas sebuah negara. Namun, sejauh ini, kadar demokrasi sebuah negara—kata Amartya Sen, pemenang Nobel Ekonomi—bisa menjadi ukuran tingkat penyelenggaraan keadilan ekonomi sebuah negara. Sayangnya, negara-negara Islam belum menunjukkan hal itu. Akibat tidak terselenggaranya keadilan ekonomi dan politik, maka kemiskinan dan konflik politik pun merebak. Tragisnya, biasanya konflik politik itu muncul berbarengan dengan pincangnya distribusi ekonomi. Di negara Islam seperti
artikel ini di kutip dari http://www.cmm.or.id
REMAJA DAN BUDAYA
Mencoba Memahami Dan Menerapkan Teori
Pierre Bourdieu
Pierre Bourdieu
I.
PENDAHULUAN
Dari sudut pandang sosiologis kebudayaan
dilihat sebagai pola kelakuan warga masyarakat yang bersangkutan. Cara berpikir
dan bertindak, bahkan cara mengembangkan perasaan tidak dilakukanorang tanpa
patokan, tetapi mengikuti satu pola tertentu, suatu pola yang sudah dikenal dan
disepakati bersama dan hendak dilestarikan eksistensinya. Anggota baru yang
masuk ke dalam satuan budaya itu karena kelahiran atau sebagai pendatang, dan
belum mengenal pola tingkah laku masyarakat itu, diwajibkan mengenal dan
mempelajari serta membiasakan diri untuk berbicara dan bertindak sesuai dengan
kebudayaan setempat.1Kebudayaan menjadi perhatian para strukturalis, salah satunya Pierre Bourdieu yang memiliki konsep habitus. Menurut Bourdieu aturan budaya yang tersirat dalam karya mereka terlalu mekanis, tidak berbeda dengan arah kecenderungan di atas. Sebagai alternatifnya, ia mengajukan konsep habitus yang lebih fleksibel. Habitus ini didefenisikan sebagai seperangkat skema (Tatanan) yang memungkinkan agenn-agen menghasilkan keberpihakannya kepada praktik-praktik yang telah diadapttasi atau disesuaikan dengan perubahan situasi yang terus terjadi.
Dalam tulisan ini teori Bourdieu tersebut akan diterapkan atau dikaitkan dengan satu objek yang pada dasarnya berkaitan, karena objek tersebut, bisa dikatakan sebuah komunitas ataupun sekumpulan individu dalam masyarakat yang memiliki kesamaan usia dan fisik yang dapat memberikan ciri khas dalam keanggotaan mereka di masyarakat. Dimana, ciri tersebut terbentuk dari struktur sosial di luar diri mereka yang diinternalisasikan dan kemudian menjadi habitus.
I.
PEMBAHASAN
1. Teori Habitus Pierre
Bourdieu
Habitus didefenisikan sebagai seperangkat
skema ( tatanan ) yang memungkinkan agen-agen menghasilkan keberpihakannya
kepada praktek-praktek yang telah diadaptasi atau disesuaikan dengan perubahan
situasi yang terus terjadi. Intisari dari hal ini adalah sejenis “improvisasi
yang teratur”, sepotong prase yang berasal dari rumusan dan tema puisi lisan
yang dikaji oleh Albert Lord.2Selain itu, habitus juga didefenisikan sebagai struktur mental atau kognitif yang digunakan actor untuk menghadapi kehidupan sosial. Habitués dibayangkan sebagai struktur sosial yang diinternalisasikan yang diwjudkan. Sebagai contohnya, kebiasaan makan dengan menggunakan tangan kanan, yang dipelajari seseorang sejaka kecil dari orang-orang yang ada disekittarnya, sehingga terbawa sampai ia dewasa, karena kebiasaan tersebut sudah ia internalisasikan dalam dirinya. Sebagai contoh lainnya, yaitu kebiasaan seseorang berjalan di sebelah kiri pada jalan umum dan raya, dikarewnakan peraturan lalu-lintas, dimana hal itu merupakan peraturan dalam kehidupan sosial yang harus ditaati, karena ketaatan dari individu tersebut, hal yang tadinya merupakan peraturan menjadi kebiasaan kareana sudah terinternalisasi dalam diri setiap individu. Sehingga dapat dikatakan bahwa habitus adalah struktur sosial yang diinternalisasi sehingga menjadi suatu kebiasaan yang terus diwujudkan.
Habitus yang ada pada waktu tertentu merupakanhasil ciptaan kehidupan kolektif yang berlangsung selama periode histories yang relative panjang. Habitus menghasilkan, dan dihasilkan oleh kehidupan sosial. Dan tindakanlah yang mengantarai habitus dan kehidupan sosial. Menurut Bourdieu, habitus semata-mata “mengusulkan” apa yang sebaiknya dipikirkan orang dan apa yang sebaiknya mereka pilih untuk sebaiknya dilakukan.3 Seperti halnya makan, minum, bdrbicara, dan lain sebagainya.
1. Penerapan Teori Pierre
Bourdieu dalam kehidupan Remaja
Remaja merupakan bagian dari masyarakat yang
sangat menarik untuk dibicarakan, karena remaja memiliki banyak hal yang
menarik untuk diteliti.Masa remaja adalah masa transisi, dimana peralihan dari masa anak-anak menuju masa dewasa. Pada masa ini remaja banyak mendapatkan goncangan dikarenakan bbanyak hal dilematis yang harus mereka hadapi. Pada satu sisi remaja dikatakan tidak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, dan disisi lain remaja menganggap dirinya mampu menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa campur tangan dari orang disekitarnya, hal inilah sebagai salah satu penyebab ketergoncangan remaja.
Sikap dan tingkah laku remaja, pada dasarnya disesuaikan dengan masa dan lingkungan yang ada disekitarnya. Tidak bisa seseorang mengatakan, kenapa remaja sekarang begini tidak seperti dulu dan sebaliknya. Mungkin bagi seorang sosiolog, pemikiran seperti itu sangat kolot dan tidak dipahami dari situasi dan kondisi yang ada. Remaja sebagai agen dalam pemikiran Bourdieu, bersikap dan bertingkah laku ataupun berbicara yang menjadi ciri suatu remaja pada satu waktu adalah sosialisasi, dimana remaja sebagai makhluk sosial dari sejak kecil, belajar makan, berbicara, berpakaian, dan lain sebagainya adalah merupakan hasil dari ia berinteraksi dari lingkungan sosial yang ada disekitarnya, sehingga terkadang semua yang ada di dalam diri remaja itu adalah cerminan dari struktur sosial yang ada di sekitarnya. Apa yang ia pelajari lalu ia terapkan dalam kehidupan sosial dan berlangsung terus menerus sehingga apa yang ia pelajari itu terinternalisasi dalam dirinya, sehingga menjadi habitus yang menjadikan remaja ataupun masyarakat lainnya berbeda.
Apalagi jika berbicara remaja sekarang, dulu, desa, ataupun
Lain halnya dengan remaja pada zaman sekarang, kebebasan pemikiran yang memang menjadi landasan di suatu negara, khususnya
Pergaulan remaja yang sekarang juga banyak dikaitkan dengan seks bebas, pada dasarnya diperoleh remaja dari lingkungan sosialnya, baik dari teknologi yang semakin maju, maupun lingkungan sosial yang dekat dengan remaja, atau dengan kata lain lingkungan sosial sangat berperan dalam menjadikan habitus remaja, khususnya keluarga.
III. PENUTUP
Remaja yang berbeda tempat, waktu, anggota dapat menjadikan remaja yang berbeda pula. Karena pada dasarnya manusia yang bermasyarakat selalu berbeda berdasarkan lingkungan, waktu, kondisi pada masanya, sehingga interaksinya pun berbeda. Namun, hal-hal ini yang sebelumnya merupakan struktur sosial biasa menjadi ciri suatu komunitas tertentu yang diinternalisasikan menjadi sebuah habitus bagi remaja tersebut.
I.
REFERENSI
1. D. Hendropuspito, OC., SOSIOLOGI
SISTEMATIK, (Kanisius: Jakarta ),
1989
2. Peter Burke, SEJARAH
DAN TEORI SOSIAL, (Jakarta : Yayasan
Obor Indonesia ),
2001
3. Ritzer, George, dan Goodman,
Douglas, Teori Sosiologi Modern, Jakarta : Kencana,2003.
Dalam fakta sosial
berbagai tindakan individu dalam melakukan hubungan-hubungan terpola dengan
anggota masyarakat lain dipedomani oleh norma dan adat istiadat seseorang.
“Fakta sosial adalah
suatu cara bertindak yang tetap atau sementara, yang memiliki kendala dari
luar; atau suatu cara bertindak yang umumya dalam suatu masyarakat yang
terwujud dengan sendirinya sehingga bebas dari manifestasi individual” (Emile
Durkheim).(hal 4)
“Manusia adalah makhluk
beragama” begitu kata para ilmuwan memang itulah kenyataan. Namun
kenyataan juga agama yang dianut manusia tidak hanya satu. Ketika klaim
kebenaran agama yang dianut seseorang atau sekelompok orang dihadapakan pada
klaim kebenaran agama yang lain, tidak jarang timbul benturan, perselisihan,
bahkan peperangan yang bernuansakan agama. Itulah konsekuensi logis memahami
agama hanya berdasarkan pendekatan teologis. Oleh karena itu, agar fenomena
keberagaman manusia itu dapat melahirkan kedamaian dan persaudaraan, seyogianya
setiap penganut agama memahami keyakinan agama yang lain melalui pendekatan
sosiologis. Kemudian untuk pengertian sosiologi sendiri adalah suatu kajian
ilmiah tentang kehidupan masyarakat manusia. Sosiolog (ahli sosiologi) berusaha
mengadakan penelitian yang mendalam tentang hakikat dan sebab-sebab dari
berbagai keteraturan pola pikiran dan tindakan manusia secara berulang-ulang.
Berbeda dengan psikolog, yang memfokuskan sasaran penelitiannya kepada berbagai
karakterisitk pikiran dan tindakan perorangan, sosiolog hanya tertarik pada
pikiran dan tindakan yang dimunculkan seseorang sebagai anggota suatu kelompok
atau masyarakat.(hal 9)
Inilah salah satu nilai
penting buku ini.
Buku ini berusaha mengungkap
secara konseptual teori-teori sosiologis tentang agama, tentang kiat melakukan
kajian terhadap agama dengan pendekatan sosiologis, juga tentang konsep
kerukunan antar umat beragama di indonesia . Singkatnya buku ini
berusaha mengungkap bagaimana seseorang mengekspresikan keberagamaannya di
hadapan penganut agama lain tanpa ada benturan.
Teori jiwa “agama
yang paling awal bersamaan dengan pertama kali manusia mengetahui bahwa di
dunia ini tidak hanya dihuni oleh makhluk materi, tetapi juga oleh makhluk
immateri yang disebut jiwa” (Edward Burnet Taylor : 1832-1917). Teori batas
akal “permulaan terjadinya agama dikarenakan manusia mengalami gejala yang
tidak dapat diterangkan oleh akalnya.” (James G Frazer dari Inggris)….(hal 24)
Buku ini sangat berguna bagi
siapa saja yang berusaha memahami gejala agama-agama secara sosiologis, untuk
direalisasikan dalam kehidupan sehari-hari dalam wujud kerukunan beragama.
Ketahuilah, kini berkembang suatu ‘kesadaran’ bahwa salah satu upaya untuk
menumbuhkan kerukunan hidup beragama adalah dengan memahami gejala keberagaman
manusia yang beragam dan itu dapat dihampiri diantaranya melalui pendekatan
sosiologi. Inilah pentingnya disiplin ilmu sosiologi agama.
http://mukhrish.wordpress.com/2009/06/25/sosiologi-agama-penulis-dr-h-dadang-kahmad-m-si/
Popularity: 31% [?]
0 komentar:
Posting Komentar