Rabu, 05 Desember 2012

makalah keadilan aris toteles


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagai mana kita ketahui bahwa di negara kita masih terdapat disana sini ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan Rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama manusia atau dengan sesama makhluk hidup.
Seandainya di negara kita terjadi pemerataan keadilan maka saya yakin tidak akan terjadi protes yang disertai kekerasan, kemiskinan yang berkepanjangan, perampokan, kelaparan, gizi buruk dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan secara benar, atau bisa kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan penguasa. Dari latar diatas  penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi ketidak adilan yang terjadi di Indonesia.       
Keadilan merupakan suatu hal yang abstrak, bagaimana mewujudkan suatu keadilan jika tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi berbeda-beda mengenai keadilan.
       Dengan mengetahui perbedaan keduanya , maka akan diketahui berbagai macam pemahaman dan pengertian keadilan dari pemikirani pakarnya dan dari sisi agama atau islam yang mungkin terdapat perbedaan atau kesamaan antara penerapan dan pengertian.



       B.     Rumusan Masalah

Dari beberapa fenomena ketidakadilan di latar belakang diatas maka, kita dapat rumuskan;
1. Bagaimana pngertian keadilan menurut Aristoteles?
2. Apa macam-macam keadilan menurut Aristoteles?
      3. Bagaimana keadilan menurut pandangan islam?

       C. Tujuan penulisan
1.      Untuk mengetahui pengertian keadilan menurut Aristoteles
2.      Untuk mengetahui macam-macam keadilan menurut Aristoteles
3.      Untuk mengetahui tentang keadilan menurut pandangan islam
























BAB II
PEMBAHASAN



 A. Keadilan menurut Aristoteles
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric. Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.
Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya, prestasinya, dan sebagainya.
 Dari pembedaan ini Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan. Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh, misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis, jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga. Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan, maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk. Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles, dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.

B. MACAM-MACAM KEADILAN MENURUT ARISTOTELES
            Adapun macam-macam keadilan menurut aristoteles adalah:
1. Keadilan Distributif
Aristoles berpandapat bahwa keadilan akan terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally).
 Sebagai contoh: Ali bekerja 10 tahun dan budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan lamanya bekerja. AndaikataAli menerima Rp.100.000,-maka Budi harus menerima Rp. 50.000,-. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi sama, juster hal tersebut tidak adil.

2. Keadilan Komutatif
Keadilan ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh : Dr.Sukartono dipanggil seorang pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan tugasnya dengan baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya, hubungan mereka berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis saling mencintai. Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan baik saja, ada keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan menghancurkan rumah tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono.
3.Keadilan kodrat alam
Keadilan kodrat alam adalah memberi sesuatu sesuai yang diberikan orang lain kepada kita. Contoh:
Seseorang yang menjawab salam yang diucapkan orang lain dikatakan adil karena telah menerima salam dari orang tersebut.
 4.keadilan konvensional
Keadilan konvensional adalah seseorang yang telah menaati segala peraturan perundang undangan yang telah di wajibkan.
5. Keadilan menurut teori perbaikan
Keadilan menurut teori perbaikan adalah seseorang telah berusaha memulihkan  nama baik orang lain yang telah tercemar.







C. KEADILAN MENURUT PANDANGAN ISLAM
Kata ‘adl  adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan –  wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً – وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata kerja ini berakar pada huruf-huruf  ‘ain (عَيْن), dâl (دَال), dan lâm (لاَم), yang makna pokoknya adalah ‘al-istiwâ’ (اَلْاِسْتِوَاء = keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (اَلْاِعْوِجَاج = keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna yang ber­tolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau ‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’ itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya “tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar maupun yang salah sama-sama harus mem­peroleh haknya. Dengan demikian, ia melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.

Al-Ashfahani menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’. Se­mentara itu, pakar lain men­definisikan kata ‘adl  dengan ‘penempatan sesuatu pada tempat yang semestinya’. Ada juga yang menyatakan bahwa  ‘adl  adalah ‘memberikan hak kepada pemilik­nya melalui jalan yang terdekat’. Hal ini sejalan dengan pendapat Al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl  dengan ‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’.

Kata ‘adl (عَدْل) di dalam berbagai bentuk­nya terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Kata ‘adl sendiri disebut­kan 13 kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123, dan 282 (dua kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua kali) dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS. An-Nahl [16]: 76 dan 90, QS. Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.

Kata ‘adl di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl (keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat makna keadilan.

1.       ‘Adl di dalam arti ‘sama’.
Pengertian ini yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’ [4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl [16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama (persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam hak. Di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 58, misalnya ditegas­kan, Wa izâ hakamtum bain an-nâsi an tahkumû bi al-‘adl (وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ = Apabila [kamu] menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl  di dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang men­cakup sikap dan perlakuan hakim pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, me­nuntun hakim untuk menetapkan pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk, penyebut­an nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah, ke­­sungguh­an mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhawi bahwa kata ‘adl bermakna ‘berada di per­tengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti ini dike­muka­kan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di sini dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (me­mutuskan perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat ke­manusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu, keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.

2.       ‘Adl di dalam arti ‘seimbang’.
Pengertian ini ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7. Pada ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan, Alladzî khalaqaka fa-sawwâka fa-‘adalaka (اَلَّذِىْ خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ فَعَدَلَكَ = [Allah] Yang telah menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan men­jadi­kan [susunan tubuh]mu seimbang). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemu­kan pada suatu kelompok yang di dalam­nya terdapat beragam bagian yang menuju satu tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian. Dengan terhimpun­nya syarat yang ditetapkan, kelompok itu dapat bertahan dan berjalan memenuhi tujuan ke­hadir­an­nya. Jadi, seandainya ada salah satu anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan di dalam pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakin­an bahwa Allah Yang Mahabijaksana dan Maha Mengetahui mencipta­kan serta mengelola segala sesuatu dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna men­capai tujuan. Keyakinan ini nantinya meng­antarkan kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi’. 

3.       ‘Adl di dalam arti ‘perhatian ter­hadap hak-hak individu dan memberi­kan hak-hak itu kepada setiap pemiliknya’.
Pengertian inilah yang didefinisikan dengan ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ atau ‘memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat’. Lawannya adalah ‘kezaliman’, yakni pelanggar­an terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau kâna dzâ qurbâ (وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْكَانَ ذَاقُرْبَى = Dan apabila kamu berkata maka hendak­lah kamu berlaku adil kendatipun dia adalah kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini me­lahirkan keadilan sosial.

4.       ‘Adl di dalam arti ‘yang dinisbah­kan kepada Allah’.
‘Adl di sini berarti ‘me­me­lihara kewajaran atas ber­lanjutnya eksistensi, tidak mencegah kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak ke­mungkin­an untuk itu’. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengan­dung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt. tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. آli ‘Imrân [3]: 18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth (قَائِمًا بِِالْقِِسْط = Yang menegakkan ke­adilan).

Di samping itu, kata ‘adl digunakan juga di dalam berbagai arti, yakni (1) ‘kebenaran’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282; (2) ‘menyandar­kan perbuatan kepada selain Allah dan, atau menyimpang dari kebenaran’, seperti di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat sekutu bagi Allah atau mempersekutukan Allah (musyrik)’, seperti di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 1 dan 150; (4) ‘menebus’, seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-An‘âm [6]: 70.

‘Adl/Al-‘Adl (عَدْل) merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar) digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengan­dung arti ‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل = keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.

Dalam pada itu, M. Quraish Shihab me­negaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat Allah yang ‘adl (عَدْل) ini setelah meyakini keadilan Allah dituntut untuk me­negak­kan ke­adilan walau terhadap keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan per­tama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus mengikuti perintah akal dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl, yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.


B.  Konsep Keadilan Dalam Al-Qur'an 

Allah berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran".( QS An-Nahl{16}: 90)

Dalam kitab suci Al-Quran digunakan beberapa term/istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 28 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).

Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan. 
Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil. 
Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.

Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)

Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish Majid).

Sebagai gambaran dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada
kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa
yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan
hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau
pernah menyatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (HR. Bukhori).

Ada beberapa faktor yang menunjang keadilan, diantaranya:
a. Tentang di dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar
janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
b.   Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif. Mengumpulkan data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.

Jika adil adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya
adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan
perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain
lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya.
Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).
Dalam ayat lain Allah berfirman lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun".(Ali Imran[3] : 192).

Dalam hal ini, ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
a.  Cinta dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya, maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
b.   Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka
keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah,
curang dan culas.
c.    Pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian,
kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi
seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat
menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.

Oleh karena itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya beberapa faktor, diantaranya:
a.    Kondisi orang tersebut pada saat itu
b.    Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
c.    Latar belakan cinta dan benci
d.    Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
e.    Adanya pengaruh dari luar (extern)









BAB III
PENUTUP

1. KESIMPULAN               
            Dari pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa:
1. keadilan menurut aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan manusia sebagai suatu kebijaksanaan  antara 2 ekstrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia sebagai individu berhubungan dengan sang pencipta.
2. Macam-Macam keadilan.
1.      Keadilan komutatif
2.      Keadilan distributif
3.      Keadilan Kodrat alam
4.      Keadilan konvensional
5.      Keadilan menurut teori perbaikan

3.Dalam Al-Quran, kata adil  berarti menetapkan hukum dengan benar, jadi, seorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama,
Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata “ adl” yang menjadikan pelakunya “ tidak perpihak”









DAFTAR PUSTAKA
·         http://www.duriyat.or.id/artikel/keadilan .html.6 Nopember 2002
·         Drs.moch.Ishom Ahmadi.ZE.2009.MATADOR.Design
·         Notowidagdo, Rohiman. 1997. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran Dan Hadits. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
·         Widagdho, Djoko. 2008. Ilmu Budaya Dasa. Jakarta : Bumi Aksara
·          
·         Sulistyowati, uut, 2010, pkn kelas XI semester  4, nganjuk: Temprina Media Grafika
·         http: // bocc.ubi.pt/ aguustin leni, spd. 2012,pkn pag/Aristotelesnicomachen.html
·         kelas XI semester 1, jombang: Temprima media Grafika

0 komentar:

Posting Komentar

Design by Aris Suyanto Visit Original Post Islamic2 Template