BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Sebagai mana kita ketahui bahwa di negara kita masih
terdapat disana sini ketidak adilan, baik ditataran pemerintahan, masyarakat
dan disekitar kita, Ini terjadi baik karena kesengajaan atau tidak sengaja ini menunjukkan
Rendahnya kesadaran manusia akan keadilan atau berbuat adil terhadap sesama
manusia atau dengan sesama makhluk hidup.
Seandainya di negara kita terjadi
pemerataan keadilan maka saya yakin tidak akan terjadi protes yang disertai
kekerasan, kemiskinan yang berkepanjangan, perampokan, kelaparan, gizi buruk
dll. Mengapa hal diatas terjadi karena konsep keadilan yang tidak diterapkan
secara benar, atau bisa kita katakan keadilan hanya milik orang kaya dan
penguasa. Dari latar diatas penulis akan mencoba untuk memberikan sebuah
konsep keadilan sehingga diharapkan nantinya dapat meminimalisi ketidak adilan
yang terjadi di Indonesia.
Keadilan
merupakan suatu hal yang abstrak, bagaimana mewujudkan suatu keadilan jika
tidak mengetahui apa arti keadilan. Untuk itu perlu dirumuskan definisi yang
paling tidak mendekati dan dapat memberi gambaran apa arti keadilan. Definisi
mengenai keadilan sangat beragam, dapat ditunjukkan dari berbagai pendapat yang
dikemukakan oleh para pakar di bidang hukum yang memberikan definisi
berbeda-beda mengenai keadilan.
Dengan mengetahui perbedaan
keduanya , maka akan diketahui berbagai macam pemahaman dan pengertian keadilan
dari pemikirani pakarnya dan dari sisi agama atau islam yang mungkin terdapat
perbedaan atau kesamaan antara penerapan dan pengertian.
B. Rumusan Masalah
Dari beberapa fenomena ketidakadilan di
latar belakang diatas maka, kita dapat rumuskan;
1. Bagaimana
pngertian keadilan menurut Aristoteles?
2. Apa macam-macam
keadilan menurut Aristoteles?
3. Bagaimana keadilan menurut
pandangan islam?
C. Tujuan penulisan
1.
Untuk
mengetahui pengertian keadilan menurut Aristoteles
2.
Untuk mengetahui macam-macam keadilan menurut Aristoteles
3.
Untuk
mengetahui tentang keadilan menurut pandangan islam
BAB
II
PEMBAHASAN
A. Keadilan menurut Aristoteles
Pandangan-pandangan Aristoteles tentang keadilan bisa kita
dapatkan dalam karyanya nichomachean ethics, politics, dan rethoric.
Lebih khususnya, dalam buku nicomachean ethics, buku itu sepenuhnya
ditujukan bagi keadilan, yang, berdasarkan filsafat umum Aristoteles, mesti
dianggap sebagai inti dari filsafat hukumnya, “karena hukum hanya bisa
ditetapkan dalam kaitannya dengan keadilan”.
Yang sangat penting dari pandanganya ialah pendapat bahwa
keadilan mesti dipahami dalam pengertian kesamaan. Namun Aristoteles membuat
pembedaan penting antara kesamaan numerik dan kesamaan proporsional. Kesamaan
numerik mempersamakan setiap manusia sebagai satu unit. Inilah yang sekarang
biasa kita pahami tentang kesamaan dan yang kita maksudkan ketika kita
mengatakan bahwa semua warga adalah sama di depan hukum. Kesamaan proporsional
memberi tiap orang apa yang menjadi haknya sesuai dengan kemampuannya,
prestasinya, dan sebagainya.
Dari pembedaan ini
Aristoteles menghadirkan banyak kontroversi dan perdebatan seputar keadilan.
Lebih lanjut, dia membedakan keadilan menjadi jenis keadilan distributif dan
keadilan korektif. Yang pertama berlaku dalam hukum publik, yang kedua dalam
hukum perdata dan pidana. Kedailan distributif dan korektif sama-sama rentan
terhadap problema kesamaan atau kesetaraan dan hanya bisa dipahami dalam
kerangkanya. Dalam wilayah keadilan distributif, hal yang penting ialah bahwa
imbalan yang sama-rata diberikan atas pencapaian yang sama rata. Pada yang
kedua, yang menjadi persoalan ialah bahwa ketidaksetaraan yang disebabkan oleh,
misalnya, pelanggaran kesepakatan, dikoreksi dan dihilangkan.
Keadilan distributif menurut Aristoteles berfokus pada
distribusi, honor, kekayaan, dan barang-barang lain yang sama-sama bisa
didapatkan dalam masyarakat. Dengan mengesampingkan “pembuktian” matematis,
jelaslah bahwa apa yang ada dibenak Aristoteles ialah distribusi kekayaan dan
barang berharga lain berdasarkan nilai yang berlaku dikalangan warga.
Distribusi yang adil boleh jadi merupakan distribusi yang sesuai degan nilai
kebaikannya, yakni nilainya bagi masyarakat.
Di sisi lain, keadilan korektif berfokus pada pembetulan
sesuatu yang salah. Jika suatu pelanggaran dilanggar atau kesalahan dilakukan,
maka keadilan korektif berusaha memberikan kompensasi yang memadai bagi pihak
yang dirugikan; jika suatu kejahatan telah dilakukan, maka hukuman yang
sepantasnya perlu diberikan kepada si pelaku. Bagaimanapun, ketidakadilan akan
mengakibatkan terganggunya “kesetaraan” yang sudah mapan atau telah terbentuk.
Keadilan korektif bertugas membangun kembali kesetaraan tersebut. Dari uraian
ini nampak bahwa keadilan korektif merupakan wilayah peradilan sedangkan
keadilan distributif merupakan bidangnya pemerintah.
Dalam membangun argumennya, Aristoteles menekankan perlunya
dilakukan pembedaan antara vonis yang mendasarkan keadilan pada sifat kasus dan
yang didasarkan pada watak manusia yang umum dan lazim, dengan vonis yang
berlandaskan pandangan tertentu dari komunitas hukum tertentu. Pembedaan ini
jangan dicampuradukkan dengan pembedaan antara hukum positif yang ditetapkan
dalam undang-undang dan hukum adat. Karena, berdasarkan pembedaan Aristoteles,
dua penilaian yang terakhir itu dapat menjadi sumber pertimbangan yang hanya
mengacu pada komunitas tertentu, sedangkan keputusan serupa yang lain, kendati
diwujudkan dalam bentuk perundang-undangan, tetap merupakan hukum alam jika
bisa didapatkan dari fitrah umum manusia.
B.
MACAM-MACAM KEADILAN MENURUT ARISTOTELES
Adapun macam-macam keadilan menurut aristoteles adalah:
1. Keadilan Distributif
Aristoles berpandapat bahwa keadilan akan
terlaksana bilamana hal-hal yang sama diperlakukan secara sama dan hal-hal yang
tidak sama secara tidak sama (justice is done when equals are treated equally).
Sebagai
contoh: Ali bekerja 10 tahun dan budi bekerja 5 tahun. Pada waktu diberikan
hadiah harus dibedakan antara Ali dan Budi, yaitu perbedaan sesuai dengan
lamanya bekerja. AndaikataAli menerima Rp.100.000,-maka Budi harus menerima Rp.
50.000,-. Akan tetapi bila besar hadiah Ali dan Budi sama, juster hal tersebut
tidak adil.
2. Keadilan Komutatif
Keadilan
ini bertujuan memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. Bagi
Aristoteles pengertian keadilan itu merupakan asas pertalian dan ketertiban
dalam masyarakat. Semua tindakan yang bercorak ujung ekstrim menjadikan ketidak
adilan dan akan merusak atau bahkan menghancurkan pertalian dalam masyarakat.
Contoh : Dr.Sukartono
dipanggil seorang pasien, Yanti namanya, sebagai seorang dokter ia menjalankan
tugasnya dengan baik. Sebaliknya Yanti menanggapi lebih baik lagi. Akibatnya,
hubungan mereka berubah dari dokter dan pasien menjadi dua insan lain jenis
saling mencintai. Bila dr. sukartono belum berkeluarga mungkin keadaan akan
baik saja, ada keadilan komutatif. Akan tetapi karena dr. sukartono sudah
berkeluarga, hubungan itu merusak situasi rumah tangga, bahkan akan
menghancurkan rumah tangga. Karena dr. Sukartono melalaikan kewajibannya
sebagai suami, sedangkan Yanti merusak rumah tangga dr. Sukartono.
3.Keadilan
kodrat alam
Keadilan kodrat alam adalah memberi sesuatu sesuai yang diberikan orang lain kepada kita.
Contoh:
Seseorang yang menjawab salam yang diucapkan
orang lain dikatakan adil karena telah menerima salam dari orang tersebut.
4.keadilan
konvensional
Keadilan konvensional adalah seseorang yang telah menaati segala peraturan perundang undangan
yang telah di wajibkan.
5. Keadilan
menurut teori perbaikan
Keadilan menurut teori perbaikan adalah seseorang telah berusaha memulihkan nama baik orang lain yang telah tercemar.
C. KEADILAN MENURUT PANDANGAN ISLAM
Kata ‘adl
adalah bentuk mashdar dari kata kerja ‘adala – ya‘dilu – ‘adlan
– wa ‘udûlan – wa ‘adâlatan (عَدَلَ – يَعْدِلُ – عَدْلاً –
وَعُدُوْلاً - وَعَداَلَةً) . Kata kerja ini
berakar pada huruf-huruf ‘ain (عَيْن),
dâl (دَال),
dan lâm (لاَم), yang makna
pokoknya adalah ‘al-istiwâ’’ (اَلْاِسْتِوَاء
= keadaan lurus) dan ‘al-i‘wijâj’ (اَلْاِعْوِجَاج
= keadaan menyimpang). Jadi rangkaian huruf-huruf tersebut mengandung makna
yang bertolak belakang, yakni ‘lurus’ atau ‘sama’ dan ‘bengkok’ atau
‘berbeda’. Dari makna pertama, kata ‘adl berarti ‘menetapkan hukum
dengan benar’. Jadi, seorang yang ‘adl adalah berjalan lurus dan
sikapnya selalu menggunakan ukuran yang sama, bukan ukuran ganda. ‘Persamaan’
itulah yang merupakan makna asal kata ‘adl, yang menjadikan pelakunya
“tidak berpihak” kepada salah seorang yang berselisih, dan pada dasarnya pula
seorang yang ‘adl “berpihak kepada yang benar” karena baik yang benar
maupun yang salah sama-sama harus memperoleh haknya. Dengan demikian, ia
melakukan sesuatu yang patut dan tidak sewenang-wenang.
Al-Ashfahani
menyatakan bahwa kata ‘adl berarti ‘memberi pembagian yang sama’. Sementara
itu, pakar lain mendefinisikan kata ‘adl dengan ‘penempatan
sesuatu pada tempat yang semestinya’. Ada juga yang menyatakan bahwa ‘adl
adalah ‘memberikan hak kepada pemiliknya melalui jalan yang terdekat’. Hal ini
sejalan dengan pendapat Al-Maraghi yang memberikan makna kata ‘adl
dengan ‘menyampaikan hak kepada pemiliknya secara efektif’.
Kata ‘adl
(عَدْل)
di dalam berbagai bentuknya terulang sebanyak 28 kali di dalam Al-Qur’an. Kata
‘adl sendiri disebutkan 13 kali, yakni pada QS. Al-Baqarah [2]: 48,
123, dan 282 (dua kali), QS. An-Nisâ’ [4]: 58, QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 (dua
kali) dan 106, QS. Al-An‘âm [6]: 70, QS. An-Nahl [16]: 76 dan 90, QS.
Al-Hujurât [49]: 9, serta QS. Ath-Thalâq [65]: 2.
Kata ‘adl
di dalam Al-Qur’an memiliki aspek dan objek yang beragam, begitu pula
pelakunya. Keragaman tersebut mengakibatkan keragaman makna ‘adl
(keadilan). Menurut penelitian M. Quraish Shihab bahwa paling tidak ada empat
makna keadilan.
1.
‘Adl di dalam arti
‘sama’.
Pengertian ini
yang paling banyak terdapat di dalam Al-Qur’an, antara lain pada QS. An-Nisâ’
[4]: 3, 58, dan 129, QS. Asy-Syûrâ [42]: 15, QS. Al-Mâ’idah [5]: 8, QS. An-Nahl
[16]: 76, 90, dan QS. Al-Hujurât [49]: 9. Kata ‘adl dengan arti ‘sama
(persamaan)’ pada ayat-ayat tersebut yang dimaksud adalah persamaan di dalam
hak. Di dalam QS. An-Nisâ’ [4]: 58, misalnya ditegaskan, Wa izâ hakamtum
bain an-nâsi an tahkumû bi al-‘adl (وَاِذَا حَكَمْتُمْ بَيْنَ النَّاسِ
اَنْ تَحْكُمُوْا بِالْعَدْلِ = Apabila [kamu]
menetapkan hukum di antara manusia supaya kamu menetapkan dengan adil). Kata ‘adl
di dalam ayat ini diartikan ‘sama’, yang mencakup sikap dan perlakuan hakim
pada saat proses pengambilan keputusan. Yakni, menuntun hakim untuk menetapkan
pihak-pihak yang bersengketa di dalam posisi yang sama, misalnya tempat duduk,
penyebutan nama (dengan atau tanpa embel-embel penghormatan), keceriaan wajah,
kesungguhan mendengarkan, memikirkan ucapan mereka, dan sebagainya, yang
termasuk di dalam proses pengambilan keputusan. Menurut Al-Baidhawi bahwa kata
‘adl bermakna ‘berada di pertengahan dan mempersamakan’. Pendapat seperti
ini dikemukakan pula oleh Rasyid Ridha bahwa keadilan yang diperintahkan di
sini dikenal oleh pakar bahasa Arab; dan bukan berarti menetapkan hukum (memutuskan
perkara) berdasarkan apa yang telah pasti di dalam agama. Sejalan dengan
pendapat ini, Sayyid Quthub menyatakan bahwa dasar persamaan itu adalah sifat
kemanusiaan yang dimiliki setiap manusia. Ini berimplikasi bahwa manusia
memunyai hak yang sama oleh karena mereka sama-sama manusia. Dengan begitu,
keadilan adalah hak setiap manusia dengan sebab sifatnya sebagai manusia dan
sifat ini menjadi dasar keadilan di dalam ajaran-ajaran ketuhanan.
2.
‘Adl di dalam arti
‘seimbang’.
Pengertian ini
ditemukan di dalam QS. Al-Mâ’idah [5]: 95 dan QS. Al-Infithâr [82]: 7. Pada
ayat yang disebutkan terakhir, misalnya dinyatakan, Alladzî khalaqaka
fa-sawwâka fa-‘adalaka (اَلَّذِىْ خَلَقَكَ فَسَوَّاكَ
فَعَدَلَكَ = [Allah] Yang telah menciptakan
kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan [susunan tubuh]mu
seimbang). M. Quraish Shihab menjelaskan bahwa keseimbangan ditemukan pada
suatu kelompok yang di dalamnya terdapat beragam bagian yang menuju satu
tujuan tertentu, selama syarat dan kadar tertentu terpenuhi oleh setiap bagian.
Dengan terhimpunnya syarat yang ditetapkan, kelompok itu dapat bertahan dan
berjalan memenuhi tujuan kehadirannya. Jadi, seandainya ada salah satu
anggota tubuh manusia berlebih atau berkurang dari kadar atau syarat yang seharusnya
maka pasti tidak akan terjadi keseimbangan (keadilan). Keadilan di dalam
pengertian ‘keseimbangan’ ini menimbulkan keyakinan bahwa Allah Yang
Mahabijaksana dan Maha Mengetahui menciptakan serta mengelola segala sesuatu
dengan ukuran, kadar, dan waktu tertentu guna mencapai tujuan. Keyakinan ini
nantinya mengantarkan kepada pengertian ‘Keadilan Ilahi’.
3.
‘Adl di dalam arti
‘perhatian terhadap hak-hak individu dan memberikan hak-hak itu kepada setiap
pemiliknya’.
Pengertian
inilah yang didefinisikan dengan ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’ atau
‘memberi pihak lain haknya melalui jalan yang terdekat’. Lawannya adalah
‘kezaliman’, yakni pelanggaran terhadap hak-hak pihak lain. Pengertian ini
disebutkan di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 152, Wa Idzâ qultum fa‘dilû wa-lau
kâna dzâ qurbâ (وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْكَانَ ذَاقُرْبَى
= Dan apabila kamu berkata maka hendaklah kamu berlaku adil kendatipun dia
adalah kerabat[mu]). Pengertian ‘adl seperti ini melahirkan keadilan
sosial.
4.
‘Adl di dalam arti
‘yang dinisbahkan kepada Allah’.
‘Adl di sini
berarti ‘memelihara kewajaran atas berlanjutnya eksistensi, tidak mencegah
kelanjutan eksistensi dan perolehan rahmat sewaktu terdapat banyak kemungkinan
untuk itu’. Jadi, keadilan Allah pada dasarnya merupakan rahmat dan
kebaikan-Nya. Keadilan Allah mengandung konsekuensi bahwa rahmat Allah swt.
tidak tertahan untuk diperoleh sejauh makhluk itu dapat meraihnya. Allah
memiliki hak atas semua yang ada, sedangkan semua yang ada tidak memiliki
sesuatu di sisi-Nya. Di dalam pengertian inilah harus dipahami kandungan QS. آli ‘Imrân [3]:
18, yang menunjukkan Allah swt. sebagai Qâ’iman bi al-qisth (قَائِمًا
بِِالْقِِسْط = Yang menegakkan keadilan).
Di samping itu,
kata ‘adl digunakan juga di dalam berbagai arti, yakni (1) ‘kebenaran’,
seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 282; (2) ‘menyandarkan perbuatan kepada
selain Allah dan, atau menyimpang dari kebenaran’, seperti di dalam QS.
An-Nisâ’ [4]: 135; (3) ‘membuat sekutu bagi Allah atau mempersekutukan Allah
(musyrik)’, seperti di dalam QS. Al-An‘âm [6]: 1 dan 150; (4) ‘menebus’,
seperti di dalam QS. Al-Baqarah [2]: 48, 123 dan QS. Al-An‘âm [6]: 70.
‘Adl/Al-‘Adl (عَدْل)
merupakan salah satu al-asmâ’ al-husnâ, yang menunjuk kepada Allah
sebagai pelaku. Di dalam kaidah bahasa Arab, apabila kata jadian (mashdar)
digunakan untuk menunjuk kepada pelaku, maka hal tersebut mengandung arti
‘kesempurnaan’. Demikian halnya jika dinyatakan, Allah adalah Al-‘Adl (اَلْعَدْل
= keadilan), maka ini berarti bahwa Dia adalah pelaku keadilan yang sempurna.
Dalam pada itu,
M. Quraish Shihab menegaskan bahwa manusia yang bermaksud meneladani sifat
Allah yang ‘adl (عَدْل) ini setelah
meyakini keadilan Allah dituntut untuk menegakkan keadilan walau terhadap
keluarga, ibu bapak, dan dirinya, bahkan terhadap musuhnya sekalipun. Keadilan
pertama yang dituntut adalah dari dirinya dan terhadap dirinya sendiri, yakni
dengan jalan meletakkan syahwat dan amarahnya sebagai tawanan yang harus
mengikuti perintah akal dan agama; bukan menjadikannya tuan yang mengarahkan
akal dan tuntunan agama. Karena jika demikian, ia justru tidak berlaku ‘adl,
yakni menempatkan sesuatu pada tempatnya yang wajar.
B. Konsep Keadilan Dalam Al-Qur'an
Allah berfirman
dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan
keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu
dapat mengambil pengajaran".( QS An-Nahl{16}: 90)
Dalam kitab
suci Al-Quran digunakan beberapa term/istilah yang digunakan
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 28 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).
untuk mengungkapkan makna keadilan. Lafad-lafad tersebut jumlahnya banyak
dan berulang-ulang. Diantaranya lafad "al-adl" dalam Al-quran dalam berbagai bentuk terulang sebanyak 28 kali. Lafad "al-qisth" terulang sebanyak 24 kali. Lafad "al-wajnu" terulang sebanyak 23 kali. Dan lafad "al-wasth" sebanyak 5 kali (Muhamad Fu`ad Abdul Bagi dalam Mu`jam Mupathos Lialfaadhil Qur`an).
Dr. Hamzah
Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan
dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
Adil
perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang
mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa
menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil.
Adil dalam segi
kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum
orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan.
Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang
adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah
dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di
kota-kota maupun di desa-desa.
Allah berfirman
dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi
orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil.
Dan janganlah
sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak
adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan".
(Al-Maidah [5] : 8)
Keadilan adalah
ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran
Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh
karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak
adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish
Majid).
Sebagai gambaran
dari keadilan Rasululah saw memberi contoh kepada
kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa
yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan
hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau
pernah menyatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (HR. Bukhori).
kita, kalau beliau ingin pergi jauh beliau undi antara isteri-isterinya. Siapa
yang kena undian maka itulah yang dibawanya. Sebagai kepala negara dan
hakim, beliau selalu menerapakan keadilan dengan betul, hingga beliau
pernah menyatakan: "Jika sekiranya Fatimah binti Muhamad mencuri, niscaya aku potong tangannya". (HR. Bukhori).
Ada beberapa
faktor yang menunjang keadilan, diantaranya:
a. Tentang di
dalam mengambil keputusan. Tidak berat sebelah dalam tindakan
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar
janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
karena pengaruh hawa nafsu, angkara murka ataupun karena kecintaan kepada seseorang. Rasululah saw dalam salah satu sabdanya mengingatkan agar
janganlah seorang hakim memutuskan perkara dalam keadaan marah. Emosi yang tidak stabil biasanya seseorang tidak adil dalam putusan.
b.
Memperluas pandangan dan melihat persoalannya secara obyektif. Mengumpulkan
data dan fakta, sehingga dalam keputusan seadil mungkin.
Jika adil
adalah sifat dan sikap Fadlilah (utama) maka sebagai kebalikannya
adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan
perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain
lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya.
Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).
adalah sikap zalim. Zalim berarti menganiaya, tidak adil dalam memutuskan
perkara, berarti berat sebelah dalam tindakan, mengambil hak orang lain
lebih dari batasnya atau memberikan hak orang lain kurang dari semestinya.
Sikap zalim itu diancam Allah dalan firmannya: "Tidakkah bagi orang zalim itu sahabat karib atau pembela yang dapat ditakuti". (Al-mu`min : 18).
Dalam ayat lain
Allah berfirman lagi : "Dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang
penolongpun".(Ali Imran[3] : 192).
Dalam hal ini,
ahli-ahli akhlak mengemukakan hal-hal yang mendorong seseorang berlaku zalim:
a. Cinta
dan benci. Barang siapa yang mencintai seseorang, biasanya ia berlaku berat
sebelah kepadanya. Misalnya orang tua yang karena cinta kepada anak-anaknya,
maka sekalipun anaknya salah, anak itu dibelanya. Demikian pula kebencian
kepada seseorang, menimbulkan satu sikap yang tidak lagi melihat kebaikan orang
itu, tetapi hanya menonjolkan kesalahannya.
b.
Kepentingan diri sendiri. Karena perasaan egois dan individualis, maka
keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah,
curang dan culas.
keuntungan pribadi yang terbayang menyebabkan seseorang berat sebelah,
curang dan culas.
c.
Pengaruh luar. Adanya pandangan yang menyenangkan, keindahan pakaian,
kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi
seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat
menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.
kewibawaan, kepasihan pembicaraan dan sebagainya dapat mempengaruhi
seseorang berat sebelah dalam tindakannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat
menyilaukan perasaan sehingga langkahnya tidak obyektif.
Oleh karena
itulah, bisa disimpulkan bahwa keadilan dan kezaliman bisa muncul karena adanya
beberapa faktor, diantaranya:
a.
Kondisi orang tersebut pada saat itu
b.
Luas dan sempitnya pengetahuan yang dimiliki
c.
Latar belakan cinta dan benci
d.
Terdorong oleh kepentingan sendiri atau golongan
e.
Adanya pengaruh dari luar (extern)
BAB
III
PENUTUP
1. KESIMPULAN
Dari
pembahasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa:
1. keadilan
menurut aristoteles adalah kelayakan dalam tindakan
manusia sebagai suatu kebijaksanaan
antara 2 ekstrimitas serta realitas dalam memahami tabiat manusia
sebagai individu berhubungan dengan sang pencipta.
2. Macam-Macam keadilan.
1. Keadilan komutatif
2. Keadilan distributif
3. Keadilan Kodrat alam
4. Keadilan konvensional
5. Keadilan menurut teori perbaikan
3.Dalam Al-Quran, kata adil berarti menetapkan hukum dengan benar, jadi,
seorang yang adil adalah berjalan lurus dan sikapnya selalu menggunakan ukuran
yang sama,
Persamaan itulah yang merupakan makna asal kata “
adl” yang menjadikan pelakunya “ tidak perpihak”
DAFTAR
PUSTAKA
·
Drs.moch.Ishom
Ahmadi.ZE.2009.MATADOR.Design
·
Notowidagdo, Rohiman.
1997. Ilmu Budaya Dasar Berdasarkan Al-Quran Dan Hadits. Jakarta : PT
Raja Grafindo Persada.
·
Widagdho, Djoko. 2008. Ilmu
Budaya Dasa. Jakarta : Bumi Aksara
·
·
Sulistyowati, uut, 2010, pkn
kelas XI semester 4, nganjuk:
Temprina Media Grafika
·
http: // bocc.ubi.pt/ aguustin
leni, spd. 2012,pkn pag/Aristotelesnicomachen.html
·
kelas XI semester 1, jombang: Temprima
media Grafika
0 komentar:
Posting Komentar